Semua berawal dari keisengan kami, para mahasiswa dan mahasiswi yang sedang berjuang menempuh tugas akhir. Hubungannya apa sama Merapi? Jadi Gini… Saat itu gue bersama 5 orang temen kampus pengin refreshing dengan jalan-jalan ke Jogja karena sudah suntuk dengan tugas akhir yang bikin pusing. Berangkat dari Semarang naik motor berboncengan 6 orang, perjalanan melewati Salatiga – Kopeng dan mampir dulu di Ketep Pass, museum vulkanologi yang berada di daerah Magelang, perjalanan berkabut diiringi hujan gerimis sepanjang perjalanan.
Karena waktu itu status Gunung Merapi sedang “siaga” maka Ketep Pass merupakan salah satu objek menarik untuk dikunjungi karena salah satu gardu pandang Gunung Merapi, di dalamnya ada museum Gunung Merapi di mana banyak sekali foto-foto erupsi merapi dari jaman penjajahan Belanda. (jangan tanya gue gimana caranya jaman segitu dah bisa dapat foto puncak merapi).
Kalau sore dan kabut tidak tebal, dari Ketep Pass kita bisa melihat rentetan pegunungan mulai dari Merapi, Merbabu, Ungaran, Sumbing, dan lain-lain. Lebih beruntung lagi apabila saat senja kabut tidak turun, berarti bisa melihat matahari tenggelan dari balik Gunung-Gunung tersebut.
Nah, puas bermain-main kabut (hati) di Ketep Pass, kami melanjutkan perjalanan ke Muntilan, karena rencananya kami akan menginap di rumah salah seorang temen di sana.
Sesampainya di Muntilan, kami cuma mampir untuk mandi, makan dan ganti baju. Setelah itu lanjut jalan ke Malioboro Jogja buat menikmati jagung bakar, jajanan kaki lima dan mendengar nyanyian dari para musisi jalanan seperti yang diceritakan Katon Bagaskara “musisi jalanan mulai beraksi.. seiring laraku kehilanganmu..”
Puas makan, dan nongkrong di Malioboro, kami mampir ke Kopi Arang di dekat Stasiun Tugu Yogyakarta. Kopi hitam yang aromanya khas karena di dalam koinya di masukkan arang, katanya sih biar kopinya ga sepet. Dan setelah puas ngopi perjalanan dilanjutkan ke arah Puncak Merapi karena kami ingin melihat lelehan lahar panas Merapi yang indah di malam hari.
Pukul 3 pagi, Sampailah di perbatasan daerah Bebeng, dimana daerah tersebut sudah menjadi titik maksimal untuk melihat lelehan lahar panas, desa-desa di atas kami sudah dikosongkan dan penduduknya di pindahkan sementara ke Posko penampungan, sedang kami bersama beberapa bapak-bapak yang bertugas menjaga keamanan sekaligus mengawasi lahar Gunung Merapi.
Kondisi suhu dibawah 16 derajat celcius, kami menanti subuh sambil melihat lelehan lahar panas berwarna merah.
Setelah hari mulai terang, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari kejauhan disusul dengan “goyangan” beberapa orang yang masih di dalam rumah dan posko berlarian ke jalan karena sambil berteriak gempa. di samping terdapat satu mobil avanza yang seperti melompat-lompat sendiri, waktu itu gue sadar kalau gempa ini cukup besar, bahkan mungkin gempa terbesar yang gue rasakan seumur-umur. Dua menit setelah gempa awan panas atau yang familiar disebut dengan “wedus gembel” keluar dari puncak Merapi, melihat posisi kami yang hanya 5-6 km dari Puncak Merapi kami sudah merasa ketakutan, takut kesamber awan panas dan kemudian berubah jadi debu padahal belum kawin.
Karena awan panas sudah semakin dekat dan tim evakuasi bencana sudah meminta kami untuk turun, maka kami memutuskan untuk segera menuju Kota.
Sesampainya di kota, ternyata keadaan tidak lebih baik, macet dimana-mana, sebagian bangunan hancur dan pecahan kaca bertebaran di jalanan, kami terus berjalan sampai ada ratusan orang berlari dari arah lawan sambil berteriak “ADA TSUNAMIIII!!! CEPAT LARI”
Sial! batin gue, kami pun reflek balik arah dan tarik gas sekuat mungkin karena takut tersambar air bah besar yang sempat memakan banyak korban di wilayah Aceh dan Sumatra tahun 2004 lalu, karena keadaan sangat kacau rombongan kami pun sempat terpisah. Gue dan temen yang boncengin gue berhenti di salah satu wartel (iya, jaman dulu wartel masih hits) sambil mencari berita apakah benar ada tsunami. Beruntung waktu itu gue bawa hp yang memiliki fitur radio, di siaran radio diberitakan bahwa tsunami hanyalah hoax atau bohong belaka, kami pun lega. Ga sengaja gue lihat ada mas-mas tinggi besar bertato yang sedang menghubungi mamanya di Medan, terdengar si mas-mas bicara di telepon “Ma, tolong aku Ma.. ada gempa dan tsunami, aku tak punya uang untuk balik ke Medan” seketika pengin gue puk-puk si mas.
Kami pun kembali ke Muntilan dengan rasa capek yang luar biasa namun senang karena semua selamat. Sampai di Muntilan gue lihat berita di tv, banyak korban jiwa karena Gempa barusan. Gue sedih, namun bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup. Semoga para korban yang tewas tenang di sisi-Nya.
semoga semua korban di berikan kesabaran