Setelah perjalanan penuh dengan gangguan turbulence selama 1,5 jam, kami mendarat dan disambut dengan kabut dingin Pekanbaru. Kami dijemput oleh seorang teman, dan setelah mandi kami memulai mengitari kota.
Pada umumnya, Pekanbaru bukan tempat tujuan wisata utama, setidaknya itulah yang saya tangkap dari kalimat teman yang mengantar kami berkeliling. Teman saya dengan latar belakang pendidikan S2 Jurusan Pariwisata mengatakan bahwa dia sudah putus harapan dengan pariwisata di Pekanbaru. Kota Pekanbaru merupakan kota yang kaya dengan hasil minyak dan sumber daya alam lainnya, mungkin dari situ masyarakatnya menganggap pengembangan kota di sektor pariwisata tidaklah penting, toh kota ini sudah kaya.
Tempat pertama yang kami kunjungi merupakan tempat makan yang cukup ramai di Daerah Pekanbaru, berbagai menu khas daerah ditawarkan, lokasi yang luas juga mampu menampung hingga 50 orang atau lebih. Soal masakan jangan ditanya, saya sangat suka dengan masakan melayu.
Sambil sarapan teman kami menyayangkan bahwa masih terdapat sebagian masyarakat sekitar yang kurang menghargai skill, untuk urusan pendidikan atau pekerjaan, mereka masih mengutamakan “orang-orang terdekat / kenalan” ketimbang “orang-orang yang mempunyai keahlian namun tidak mempunyai hubungan kekerabatan”.
Mendengar hal itu, saya hanya dapat mengangguk tanda mengerti. Saya tidak tahu, apakah karena budaya “kerajaan” yang masih terbawa oleh masyarakat negeri (khususnya kota ini), sehingga sebuah jabatan dirasa hanya pantas diberikan kepada keluarga atau kerabat dari “yang punya kewenangan”.
Saya kemudian menyusuri pasar tradisional sambil terus berbicara mengenai perilaku dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan penduduk sekitar, satu yang saya tangkap dari pembicaraan panjang kami: “saat dihadapkan pada kekuatan yang lebih besar, seberapapun benarnya kita, kita akan nampak lemah dan tidak berdaya.
Terletak di sebelah pasar tradisional, terdapat kawasan pecinan yang sedang banyak dihiasi lampion-lampion merah dalam rangka tahun baru Cina.
Selesai makan siang, kami melanjutkan berkeliling ke Rumah Adat Melayu, dimana gedung tersebut sering digunakan oleh Kelompok Adat untuk kegiatan-kegiatan adat.
Pada panggung terdapat sebuah “kursi kehormatan” bagi Pemimpin Adat atau tamu kehormatan, di kanan dan kiri kursi kehormatan terdapat gambar tenun asli Pekanbaru.
Tempat tersebut juga dihiasi dengan tulisan Pasal Gurindam 12 pada dindingnya.
Hal menarik lain di Pekanbaru selain kulinernya adalah bangunan-bangunan megahnya. Mulai dari masjid-masjid besar, gedung perpustakaan hingga gedung anjungan yang dahulu pernah digunakan untuk acara FFI beberapa tahun lalu.
Sayangnya terdapat beberapa bangunan yang masih kurang dioptimalkan fungsinya, bahkan kurang dirawat sehingga nampak kotor, yang saya takutkan adalah apabila hal ini terus dibiarkan, gedung-gedung megah tersebut akan cepat rusak.
Hal positif lain, Pekanbaru merupakan kota dengan tata kota yang apik, jalanan dengan aspal berkualitas baik, pengemudi kendaraan yang tertib berlaku lintas di jalanan, dan tentu saja kondisi jalanan yang bersih sehingga nyaman untuk dilewati.
Setelah seharian berkeliling Pekanbaru, saya merasa Kota ini cukup menyenangkan, dengan sedikit pengembangan, dan perawatan saya tudak heran apabila suatu saat nanti, kota ini akan menjadi kota metropolitan.