Beberapa minggu lalu, seorang teman sebut saja namanya Ipi (bukan nama sebenarnya) mengajak saya dan rekan-rekan lain untuk menjelajah Pantai Selatan di kawasan Sukabumi. Saya sendiri baru tahu kalau Sukabumi ternyata begitu luasnya sehingga kawasannya meliputi bukan hanya dataran tinggi namun juga kawasan Pantai mulai Pelabuhan Ratu sampai dengan Pantai Cimaja, destinasi yang saya kunjungi minggu lalu.
Perjalanan yang awalnya hanya wacana, kemudian diseriusi oleh beberapa rekan, termasuk saya sendiri. Setelah berbulan-bulan kurang vitamin laut dan belum bisa cuti karena masih probation di tempat kerja, maka bepergian saaat weekend menjadi pilihan utama.
Setelah mention beberapa teman di twitter, dan bergonta-ganti personil macam anak band, terhitung sudah ada 10 dari kami yang mau ikut perjalanan, untuk perjalanan tidak bisa mengandalkan transportasi umum karena pasti akan habis waktunya di jalan, dan apabila membawa kendaraan sendiri juga cukup repot karena minimal harus membawa dua mobil berukuran 7 seater, apabila harus sewa mobil pastinya juga akan mahal untuk dua hari sewa.
Beruntung ada salah satu teman yang menginformasikan kalau sekarang bisa pesan BigBird atau angkutan transportasi dari Blue bird dengan kendaraan Elf, atau Bus dengan berbagai kapasitas tempat duduk online!. Berhubung sudah H-1 lumayan deg-degan juga kami apakah bisa dapat armada atau tidak.
Pemesanan pun cukup dilakukan secara online aja di sini tinggal pilih armada dan kapasitas seat (bocoran, ada yang BigBird premium juga lho) lokasi penjemputan dan jam, juga berapa lama dan berapa unit, kemudian tinggal ke pembayaran. Dan ternyata, selain bisa dibayar menggunakan kartu kredit, pemesanan Bigbird melalui reservasi online dapat diskon 15% untuk pemesanan hingga 31 Oktober 2016. yeaayy!
Paginya kami berangkat pukul 6 Pagi, Driver BigBird sduah standby mulai puluk 4.30 pagi, perjalanan mulai Ciawi, Menuju ke Sukabumi dan langsung menuju Pantai Cimaja. Perjalanan 6 jam dengan jalan berkelok terbayar sudah saat kami melihat kiluan air laut, kami langsung menuju penginapan di Karang Aji Beach Villa.
Penginapan yang unik dengan pemandangan terbaik dari atas bukit sungguh tidak mengecewakan, selepas menaruh barang dan membereskan pembayaran hotel, kamipun menuju pesisir pantai untuk makan siang dan dilanjutkan dengan bermain-main di pantai.
Tempat makan siang yang direkomendasikan dari teman-teman di social media adalah Cimaja Square, rumah makan khas western milik Fathir (adik dari Bucek Depp), selain menu masakan yang digarap dengan serius, di Cimaja Square juga dilengkapi fasilitas meja billiard, tenis meja, dan berbagai permainan lain. Karena kebetula Fathir dan Bucek juga ada di lokasi, sekalian foto bareng lah, lumayan di foto ada yang bening dikit *ditendang pacar*.
Selesai makan siang langsung menuju pantai Sunset Beach yang direkomendasikan oleh Fathir.
Pantainya sepi, masih bersih, ombaknya cukup besar juga. Benar-benar pantai ideal untuk bersantai atau berenang.
Setelah selesai menanti matahari tenggelam, kami meneruskan perjalanan untuk mencoba salah satu restoran besar di dekat kawasan sunset beach, memuaskan diri makan seafood, dan kembali ke hotel untuk beristirahat.
Paginya, setelah puas berfoto dan juga sarapan di penginapan, kami berjalan kaki sekitar 200m menuju private beach milik salah satu resort di situ. Pantai ini jauh lebih sepi, dengan pantai yang lebih bersih dan pasir yang lebih putih daripada Sunset Beach. Pantai kece ini ga cukup diceritakan dengan kata-kata, jadi langsung saja lihat foto-foto perjalanan kami.
Kata orang, kalau menginginkan sesuatu memang harus diucapkan terus, dibayangkan dan diniati dengan sungguh-sungguh biar jadi kenyataan. Percaya ga percaya, apa yang dikatakan orang-orang itu ada benarnya juga, contohnya datang ke acara Dreamfield Festival 2014 ini.
Berawal dari pembicaraan dengan teman yang berencana datang ke Bali untuk datang ke Dreamfield Festival. Nah Dreamfields Festival adalah salah satu festival Electronic Dance Music (EDM) yang paling berkembang di dunia. Berasal dari Belanda, tahun ini Dreamfields Festival hadir juga di Bali, Indonesia, dengan konsep panggung yang unik dan dekorasi yang memesona dengan sentuhan aspek budaya. Diselenggarakan di taman budaya terbesar di Bali, Garuda Wisnu Kencana, pada 16 Agustus 2014, Dreamfields Festival kali ini dipersembahkan oleh BlackRock, Matrixx, dan BlackBeat, serta didukung penuh oleh Marlboro.
Secara saya suka party dan pantai yah, penginnya sih ikut. Sayang karena lagi banyak pengeluaran sehabis lebaran (halah bilang aja bokek) akhirnya saya mengurungkan niat untuk beli tiket Jakarta – Denpasar PP. hiks.
Namanya juga rejeki dan jodoh ga akan kemana, dua hari sebelum acara berlangsung saya dapat telp dari agency Prodigy yang menawarkan saya untuk terbang ke Bali menghadiri Dreamfield Festival. Tanpa pikir panjang langsung saya iyakan kapan lagi kan ke Bali gratis plus akomodasi lengkap *jejingkrakan*.
Singkat cerita, sampailah saya bersama beberapa teman dari media lain yang meliput acara tersebut. Begitu sampai kami langsung makan siang dulu sambil menikmati angin pantai di Chiriquito Restaurant, Double Six beach, Seminyak.
Setelah puas makan dan foto-foto bentar, kami langsung check-in Hotel di The Haven Hotel, Seminyak. Beruntungnya lagi, saya dan satu teman sekamar dapat honeymoon suite dengan double room yang mewah abis *kecupin pihak sponsor*.
Karena ga mau rugi, saya langsung memanfaatkan kolam renang di depan villa untuk berenang berfoto selfie (berenangnya bentar, foto selfienya banyak). Selesai berenang saya sempat tertidur di bed di balkon (iya di balkon hotel ada bed besar buat ngisis), dan langsung bersiap-siap ke Dreamland GWK untuk makan malam dan berpesta di Dreamfield Festival.
Makan malam mewah diadakan di Jendela Resto, Garuda Wisnu Kencana, depan area festival persis. Selama makan malam suara jedug-jedug DJ sudah mulai terdengar, satu jam kemudian kami sudah masuk ke dalam area Festival.
Festival musik (rave party) yang katanya terbesar di Bali ini berhasil menjual 13.000 tiket dengan asumsi probadi saya bahwa pengunjung sebagian besar berasal dari Jakarta dan sisanya turis asing & masyarakat sekitar Bali 😀 ya habis di mana-mana ketemunya orang-orang Jakarta juga (HIH). Line up dari festival ini ada banyak banget! misal Dash Berlin, Sidney Simson, Ummet Ozcan, Timmy Trumpet, Will Sparks, Wildstylez, Jochen Miller, Nakadia, Nick Sijmen, LA Riots, Dubvison, Mighty Fools, Goldfish & Blink, dan kolaborasi DJ Indyana & Anggun yang membawakan theme song Dreamfields Festival 2014.
Selain DJ, di panggung samping terdapat juga sejumlah kegiatan interaktif di MSpot Area yang bertemakan racing. Beberapa kegiatan interaktif yang dihadirkan oleh Marlboro di area ini adalah Racing Simulator, Change Tire Challenge, RC Race, dan Augmented Reality Photo Booth. Sesuai dengan semangat Dreamfields Festival untuk menghadirkan international lifestyle experience, Marlboro juga menghadirkan replika Ferrari dan Ducati di sini.
Seluruh kegiatan di MSpot Area ini merupakan bagian dari kampanye ‘Be>Marlboro’ yang diusung Marlboro sejak bulan Mei tahun lalu. Dengan ‘Be>Marlboro’, Marlboro melalui dua platform utamanya, yakni lifestyle dan racing, secara konsisten mengajak masyarakat dewasa untuk berani mengambil keputusan dan memegang kendali dalam hidup. Inilah alasan Marlboro menghadirkan kegiatan-kegiatan bertema racing yang stylish dan premium that only Marlboro can do! di Dreamfields Festival 2014.
Yang lebih menyenangkan lagi, bagi lima individu yang berani mengambil keputusan untuk menyelesaikan seluruh tantangan dan memenangkan kompetisi di MSpot Area, Marlboro memberikan apresiasi berupa special treatment di F1 Singapore Grand Prix bulan November mendatang. Tiket dan akomodasi selama tiga hari dua malam, pengalaman langsung menyaksikan F1 Singapore Grand Prix, dan hadir di konser headliners international, seperti J-Lo, John Legend, dan Robby Williams, diberikan khusus oleh Marlboro bagi lima pemenang dan satu orang temannya *langsung semangat ikutan*.
Pagi harinya, walau masih setengah mengantuk saya sudah harus check out dari hotel untuk makan siang di Double Six Beach kembali sebelum kembali ke Jakarta. Overall walaupun perjalanan singkat dan niat banget ke Bali hanya untuk party namun akomodasi dan acara sunggung memuaskan. Thanks to Marlboro dan juga Prodigy yang telah menyelenggarakan kegiatan ini. kiss kiss Ciao bellaaa!
Tidak sampai dering ketiga telepon saya sudah diangkat oleh salah seorang pegawai Hotel Santika. Langsung saya sampaikan bahwa saya akan menginap di Santika Cirebon untuk dua malam, dengan ramah staff tersebut mengalihkan telepon untuk disambungkan ke bagian reservasi.
Karena perjalanan saya ke Cirebon baru akan dilaksanakan sekitar sebulan lagi, saya dipesan untuk kembali telepon Hotel di hari H, kebetulan jadwal kereta juga baru tiba di Cirebon pukul 10 malam, “mohon hubungi kami kembali untuk konfirmasi kedatangan ya bu, karena kami khawatir kamar akan di release apabila ibu belum check-in hingga pukul 5” kata staff reservasi.
Sampai di hari H, pukul 3 sore saya menelpon Hotel Santika untuk konfirmasi, saya sampaikan jadwal kedatangan saya, dan tanpa saya duga staff reservasi langsung menawarkan mobil jemputan. Setelah berhasil menepis rasa ge-er saya saya pun menolak dengan alasan teman saya sudah akan menjemput ke Stasiun.
Setibanya di Hotel saya langsung sibuk memperhatikan bagian depan hotel tersebut, sekilas nampak seperti bangunan bangsawan pada jaman dahulu. Tentunya karena saya tinggal di Ibukota dengan banyak bangunan bergaya “masa kini”nya, bagunan Hotel Santika ini cukup menarik.
Saya mendapatkan kamar superior dengan dua tempat tidur, perlu dicatat di sini bahwa Hotel Santika Cirebon memiliki kamar yang semuanya memiliki pool view, dan satu lagi yang saya suka adalah kamar di Hotel Santika berlantai kayu. Benar-benar serasa tinggal di rumah bangsawan jaman dahulu. 🙂
Paginya saya sarapan di Taman Sari Restaurant, restoran dengan dinding kaca yang terletak di samping kolam renang ini menawarkan banyak sekali menu-menu Indonesia, seperti soto ayam, bubur ayam, nasi jamblang, dan juga jajanan pasar seerti gethuk pun ada. Sebagai orang daerah yang cukup lama tinggal di kota, saya serasa pulang ke kampung halaman .:D
Hotel ini juga menyediakan fitness center dan spa, sayang karena jadwal padat saya hanya melihat-lihat saja tanpa sempat menjajal dua fasilitas tersebut. Ada satu hal yang menarik perhatian saya, yaitu pendopo yang terletak di antara lobby dan lounge. Dari yang disampaikan oleh receptionist, pendopo tersebut digunakan sebagai tempat “manggung” pelaku seni lokal, yang biasanya ada setiap minggu pagi. Kesenian lokal yang biasanya di tampilkan adalah Tarling atau gitar dan seruling, lengkap dengan penyanyi dan penabuh genderang yang menyanyikan lagu dengan nada riang namun makna lirik yang dalam mengenai kehidupan.
Kebetulan saya suka berenang, dan memang di Hotel Santika Cirebon ini, spot yang paling bagus menurut saya ada di sekitar kolam renang, terdapat taman yang berada di samping kolam renang. Biasanya daerah taman tersebut digunakan untuk acara-acara spesial seperti resepsi pernikahan, ulang tahun, atau selebrasi lainnya. Bagi yang ingin berenang tapi takut tenggelam, jangan khawatir! ada penjaga kolam yang siap menolong seperti di film-film Baywatch 😀 atau kalau hanya ingin bersantai di pinggir kolam sambil berfoto narsis juga menyenangkan.
Setiap saya menginap di hotel, terutama hotel-hotel berbintang saya selalu ingin “menguji” staff-staffnya. Kali ini saya bertanya mulai dari receptionist, waiter, dan security mengenai pertanyaan yang sama, yaitu “apa saja tempat wisata dan kuliner yang bagus di daerah ini, seberapa jauh, dan bagaimana cara mencapainya”, dan saya mendapat jawaban yang tidak jauh berbeda dari satu staff dan staff lain, membuktikan pengetahuan mereka seimbang. hihihi
Mengenai keramahan layanan dan skill staff saya dapat memberikan nilai 9 dari 10, kemudian untuk cepatnya pelayanan saya memberikan nilai 8,5 dari 10, fasilitas kamar hotel termasuk kamar mandi & toilet saya berikan nilai 8 dari 10, fasilitas parkir 9 dari 10, fasilitas kolam renang gym & spa 8 dari 10, lokasi dan bangunan 9 dari 10, kualitas makanan 8 dari 10, overall nilai 8,5 dari 10. 🙂
Nah, pada saat check out saya masih mendapatkan bingkisan dari management Santika Cirebon (yeeeaaaaayy!!). Jadi kalau ditanya apakah saya akan menginap kembali di Hotel Santika Cirebon saya akan jawab IYA, apakah akan merekomendasikan hotel ini? tentu saja. Apakah kamu ingin membuktikan rekomendasi saya? 😀
Catatan :
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Santika Cirebon dapat klik di sini
Atau dapat juga mention ke @SantikaCirebon atau klik fan page facebook/Hotel-Santika-Cirebon
Pukul 21.17 , saya melirik jam tangan dengan mata masih setengah merem. Langsung otomatis menoleh ke arah luar jendela. “sudah nampak bangunan besar dengan lampu, pasti stasiun Cirebon sudah dekat” batin saya.
Tidak lama kemudian kereta berhenti, saya turun dan dengan cepat badan merespon udara hangat di sekitar, syal yang sejak tiga jam lalu difungsikan sebagai selimut di dalam kereta saya masukkan ke dalam tas punggung hitam. Sambil berjalan mencari pintu keluar kamera saya kalungkan di leher, siap membidik apa saja hal menarik kota ini.
Selang 10 menit menunggu di pintu keluar saya kemudian dijemput teman yang datang jauh-jauh dari tempat kerjanya di Brebes untuk menemani saya jalan-jalan. Karena sudah hampir jam 10 malam dan khawatir kamar hotel akan di release, maka tujuan pertama saya ke hotel dulu untuk check in. Selesai urusan hotel, karena tidak sempat makan malam langsung saja saya bertanya kepada staff hotel tempat makan yang masih buka sampai malam.
Bagi masyarakat Cirebon, empal gentong merupakan makanan khas yang banyak ditawarkan di banyak tempat. Membuktikan rekomendasi dari banyak teman, akhirnya saya mencoba empal gentong yang dikatakan paling lezat di Cirebon.
Bagi yang belum tau, Empal Gentong itu makanan seperti rawon dari daging sapi yang diberi kuah santan nikmat. Setelah kenyang dan masih belum ingin istirahat, teman saya mengajak untuk menikmati “hiburan malam Cirebon” awal mulanya saya berpikir hiburan malam yang dia maksudkan adalah nongkrong di kaki lima atau warung kopi dengan diiringi oleh musik khas daerah. Namun ternyata hiburan malam yang dimaksudkan adalah CLUB atau DISKOTEK (iya ini jadul). Dengan heran saya bertanya “Hah? macam apa pula kota santri ada hiburan macam itu?” dan teman menjawab dengan yakin “ADA. coba deh tanya temen kamu yang kerja di Cirebon”.
Menurut saya kemudian menghubungi teman via social media untuk menanyakan lokasi “hiburan malam” yang dimaksud. Tak sampai 2 menit saya mendapat jawaban yang mengagetkan, ternyata HIBURAN MALAM CIREBON ADA SAUDARA-SAUDARA. Namun dijelaskan lebih lanjut oleh teman saya kalau di kota (Cirebon) sekarang memang sudah dilarang penjualan alkohol dan semacamnya, kalau mau club yang menjual alkohol disarankan untuk pergi ke Kabupaten. Iya… KABUPATEN.
Menelusuri jalanan sepi menuju Kabupaten Kedawung, Cirebon, saya pergi ke satu tempat hiburan yang di maksud. Club yang jadi satu lokasi dengan Hotel itu ternyata cukup nyaman. Tempat luas, musik, dan DJ yang tidak kalah seru dari club di Jakarta, dan tentunya aneka minuman dengan atau tanpa alkohol yang bebas dipesan. 😀
Pulang ke hotel sudah sekitar jam 4 pagi, dan saya di sambut bulan purnama terang yang bersinar dari atap hotel, tentunya disambut dengan ayam berkokok juga. :”)
Paginya, setelah sarapan kami berangkat menuju tempat wisata di Cirebon. Pada dasarnya, kawasan wisata Cirebon dibagi menjadi 3 yaitu : Keraton, Batik & oleh-oleh khas dan Kuliner. Karena saya suka bangunan tua, maka saya langsung menuju ke tiga dari empat keraton yang ada di Cirebon.
1. Keraton Kasepuhan
Ini adalah keraton pertama yang saya kunjungi, merupakan keraton yang paling terkenal dan selain dikelola oleh Pihak Keraton juga dikelola oleh Pemda. Karena Keraton Cirebon tidak punya Raja, maka pemimpin tertingginya adalah Sultan.
Keraton Panembahan ini memiliki museum khusus untuk menyimpan benda-benda bersejarah, yang paling terkenal adalah Kereta Singa Barong yang digunakan untuk menggotong Sultan di acara-acara besar.
Kereta aslinya sudah tua dan tidak dapat digunakan, sedangkan Keraton sekarang mempunyai Kereta tiruannya untuk digunakan di acara-acara besar Keraton. Yang menarik lainnya adalah lukisan 3 dimensi, menggambarkan Sultan dengan Singa. Disebut 3 Dimensi karena dari arah manapun kita melihat, Mata dan jempol kaki Sultan akan mengikuti kita. hiiiii.. Tapi jangan takut dulu, lukisan itu memang dibuat sedemikian rupa agar mata dan jari Sultan dapat bergerak mengikuti yang melihat.
2. Keraton Kacirebonan
Berjarak kurang lebih 500 meter dari Keraton Kasepuhan, Keraton kedua yang kami kunjungi lebih kecil dan sederhana dari yang pertama. Masuk keraton kami ditemani guide lokal (biasanya masih keluarga keraton) berkeliling. Keraton Kacirebonan lebih seperti rumah bangsawan yang besar, dengan ruang tamu yang luas dan menyimpan banyak benda bersejarah. Lingkungan keraton masih ditempati kerabat keraton, dan terkadang masih ada kegiatan berupa upacara-upacara yang dilakukan.
Hal menarik yang saya termukan di Keraton Kacirebonan ini adalah alat untuk tedak siti atau perayaan awal berjalan anak raja, dimana bayi akan diletakkan di dalam kurungan besar dan diberikan barang-barang. Baang yang dipilih oleh bayi pertama kali akan menentukan karakternya.
3. Keraton Kanoman
Keraton ketiga, terakhir dan yang menjadi favorit saya selama di Cirebon adalah Keraton Kanoman. Terletak agak jauh dari kedua Keraton sebelumnya dan harus melewati gang sempit yang berujung pada pasar. Saat saya masuk, saya langsung disuguhi oleh bangunan-bangunan bercat putih dengan hiasan berbagai keramik. Disambut juru kunci seorang bapak-bapak tua, kami dijelaskan bahwa Keraton ini masih dikelola oleh Keluarga, sehingga masih sepi dari pengunjung. Seingat saya Keraton ini merupakan satu-satunya keraton yang tidak memungut biaya atau tiket masuk. Banyak bangunan bagus seperti Bangunan dengan Lonceng tua yang berdiri di sebelah masjid, gerbang khas bangunan Hindu, dan juga benteng Khas Cirebon. Segala bangunan dibangun dengan filosofi tersendiri.
Terdapat beberapa bagian bangunan utama, seperti tempat bersemedi, tempat ibadah, tempat berunding, tempat persemayaman raja, yang menarik untuk dilihat dari tempat ini. Lokasi yang sangat luas, namun sayang kurang dirawat.
Selain Keraton dan Empal Gentong, Cirebon juga sering dikaitkan dengan makanan khasnya yang lain yaitu Nasi Jamblang. Nasi Jamblang ini nasi dengan beragai lauk-pauk yang dipilih sendiri, model makannya prasmanan alias swadaya. Lauk-pauk yang ditawarkan mulai dari paru, tahu, tempe, ikan, telur, lidah sapi, dan juga tak lupa sayuran seperti oseng pare dll. Untuk rasa sudah tak diragukan lagi, antrian untuk satu porsi Nasi jamblang ini saja bisa sangat panjang.
Kenyang dengan Nasi Jamblang, saya pun berminat untuk mencari oleh-oleh, berdasarkan rekomendasi dari staff hotel, saya dapat berburu oleh-oleh di kawasan jalan Trusmi, tidak heran batik Khas Cirebon yang dijual di situ pun juga dinamakan Batik Trusmi. Berjarak sekitar 20 menit dengan menggunakan mobil akhirnya saya sampai di salah satu toko besar yang menjual berbagai macam batik, kerajinan tangan dan juga makanan oleh-oleh khas Cirebon. Bagi yang suka belanja siap-siap kalap di sini. 🙂
Eeeits! tunggu dulu, setelah puas berbelanja di kawasan Trusmi, jangan langsung pulang. Masih ada satu lagi objek wisata menarik yang bisa dikunjungi di Cirebon, yaitu Gua Sunyaragi. Gua buatan yang dibangun sebagai tempat beristirahat dan bersemedi para Raja ini dibangun dari batu kapur dan kuning telur! Tetapi mentang-mentang terbuat dari kuning telur jangan dijilat ya, ga enak. (yakale)
Gua ini dibangun di atas tanah seluas 15 hektar, dan tiap ruangannya memiliki filosofi tersendiri. Ada sebagai tempat bertapa Raja, Tempat berunding, tempat beristirahat, tempat latihan perang, bahkan tempat bersembunyi dari Pasukan Belanda. Hal menarik disini adalah adanya jendela kecil yang disebut sebagai Cermin Ajaib, dimana apabila seorang putri Raja yang berperilaku baik dan bagus pula ibadahnya menatap lurus jendela (cermin) tersebut, akan dapat berbicara dengan leluhurnya.
Di sisi lain Gua Sunyaragi ini juga terdapat sebuah lokasi yang diyakini oleh masyarakat setempat sebagai makam Laksamana Ceng Ho. Benar atau tidaknya tidak ada yang dapat benar-benar dapat memastikan. Di sebelah makam tersebut terdapat pohon cherry yang berusia ratusan tahun.
Setelah puas berkeliling Gua Sunyaragi ini, saya kemudiansegera menuju ke Stasiun untuk kembali ke Jakarta. Dalam perjalanan menuju ke Jakarta dalam hati saya berjanji suatu saat akan kembali ke Kota penuh filosofi ini. 🙂
foto-foto keunikan Cirebon lainnya silahkan lihat di galeri.
Beberapa teman bertanya pada saya saat pertama mengetahui alamat blog yang saya buat, mengapa “pejalan sore?” Bukan “pejalan pagi” atau “pengendara malam”?
Jawabannya tentu saja sangat sederhana, karena saya sangat menyukai sore hari, terutama memasuki saat senja.
Alasan saya menyukai senja pun sangat sederhana, pertama saya sulit untuk bangun pagi sore hari (senja) merupakan batas antara terang dan gelap, sebuah pintu dari sebuah perjalanan dan kerja keras menuju suatu yang tenang dan menentramkan. Senja, menjadi lebih sakral dari pagi karena kita harus mengadapi gelap, menghadapi apa yang tidak kita ketahui, menghadapi misteri yang harus kita pecahkan.
Karena itu kali ini saya akan memberikan beberapa gambar senja yang sempat saya abadikan dalam perjalanan saya. Tentu saja saya akan terus menambahnya, semoga akan lebih banyak lagi senja-senja lain yang terekam.
Senja pertama saya ambil dalam perjalanan kereta Semarang-Jakarta. Sudah berkali-kali sejak perpindahan saya ke Ibu kota RI saya menggunakan kereta, namun tetap saja tak dapat menghilangkan hujan emosi yang datang saat roda kereta berjalan. Di belakang saya keluarga yang mengantarkan hingga stasiun, memberikan doa agar saya selamat, dan berharap saya segera datang kembali dengan bahagia.
Tunggu aku Ibu, Ayah, adekku tersayang, jarak hanya ada saat dipikirkan. 🙂
Senja kedua saya ambil saat naik kapal menyusuri sungai Mekong di Phnom Penh Kamboja.
Pertama kalinya saya naik kapal untuk menyusuri sungai, saya dikejutkan oleh kemunculan bulan, seakan menyambut malam.
Beristirahatlah duhai matahari, cukuplah mengantar kami sampai di sini, kami akan aman ditemani bulan! 😀
Senja ketiga diabadikan oleh salah satu teman dengan saya sebagai siluetnya, sebuah pantai indah di Belitung. ajari aku bahasamu duhai senja yang jelita
Senja keempat saya dapatkan di Pantai Bandengan Jepara. Saya datang ke pantai itu tanpa ekspektasi, yang saya dapatkan cukup untuk mengucap syukur. mereka bilang cinta datang saat ekspektasi sudah ditiadakan
Masih dari pantai Bandengan Jepara, kali ini dia mengintip malu-malu. tetap tidak dapat kau sembunyikan kemilaumu
Senja kelima terlalu cantik untuk saya kisahkan, Sebuah Danau Buatan di Lembang Bandung dapat menampilkan keindahan asli.
Bagai seorang ratu jagat raya, senja keenam muncul dari tempat yang katanya Pulau Dewata. wahai dewa-dewi senja, menarilah
Tak mau kalah senja ketujuh dari Kuta Lombok, masih sangat lugu.
Siapa yang sangka kalau Pulau Pari di Kepulauan Seribu juga menyimpan senjanya sendiri?
Senja kedelapan.
Kembali menatap senja di balik jendela kereta. Senja kesembilan.
Beberapa kali mengunjungi Bandung namun baru kali ini saya mengunjungi Kawah putih di daerah Ciwidey Bandung, Jawa Barat.
Danau air belerang ini berjarak sekitar 48km dari Kota Bandung, untuk perjalanan normal membutuhkan waktu sekitar 1 jam 40 menit, namun waktu tempuh saya sendiri hampir 3 jam lamanya karena jalanan padat.
Memasuki daerah Ciwidey suhu udara sudah terasa turun drastis, ditambah hujan yang mengakibatkan kabut tebal sepanjang perjalanan.
Makin dekat dengan tempat wisatanya, suasana makin terasa mistis, deretan pohon pinus tertutup kabut mengingatkan saya dengan scene-scene dalam film-film horor *hiiiiiyy*
Namun jangan khawatir, memasuki wilayah Perhutani, makin banyak wisatawan terlihat.
Sesampainya di pintu masuk kawasan wisata, saya dan @wwulann teman yang mengantar saya kali ini memutuskan untuk memarkir mobil di pos bawah karena tiket masuk untuk mobil pribadi seharga IDR 50k, terlalu mahal untuk kami yang hanya berdua.
Setelah memarkir mobil, kami langsung menuju pos penjualan tiket angkutan PP menuju ke kawah Putih.
Setelah membayar tiket PP seharga IDR28k kami menunggu angkutan orange yang akan mengantarkan kami menuju Kawah Putih, sambil menunggu angkutan penuh, wisatawan dapat berbelanja makanan dan minuman khas Ciwidey di pertokoan belakang terminal.
Tidak menunggu lama kami pun naik angkutan orange, selama perjalanan seingat saya sopir tidak pernah memasukkan persneling mobilnya sampai lebih dari gigi 1, yup jalanan menanjak tajam dan kabut sepanjang perjalanan lumayan membuat deg-degan.
Dan setelah perjalanan sekitar 20 menit sampailah kami di tempat tujuan. Masih dengan suasana berkabut saya sedikit khawatir tidak dapat menikmati pemandangan dengan leluasa sesampainya di Kawah. Tentunya begitu turun dari angkutan orange saya langsung mulai mengambil berbagai foto.
Perjalanan dilanjutkan dengan menuruni anak tangga menuju kawah, melewati hutan yang dijaga oleh Perhutani. Karena saya berkunjung hari Jumat, tempat wisata tidak terlalu ramai. Menguntunkan bagi saya yang ingin leluasa mengambil gambar. 😀
Meskipun air di kawah Putih terlihat kehijauan, jangan pernah mencoba untuk terjun ke dalamnya karena air Kawah Putih mengandung belerang yang cukup tinggi. Tanahnya yang putih berpadu dengan air belerang menghasilkan warna kehijauan yang indah. Beruntung sampai di bawah kabut yang tadinya tebal perlahan menghilang, meskipun begitu tetap tidak dapat mengurangi suasana mistis yang saya rasakan.
Kawasan ini pertama kali tercatat dalam sejarah tahun sekitar tahun 1800an oleh peneliti Belanda, hingga akhirnya dikuasai Jepang paska perang Dunia II, tak heran ada Goa Belanda yang terlarang untuk dimasuki karena penuh dengan gas beracun.
Setelah sekitar satu setengah jam berkeliling dan mengambil gambar, saya memutuskan kembali karena kabut mulai turun. Cukup sudah menikmati si mistis nan cantik ini. 🙂
Sedikit tips : karena gas belerang cukup menyengat, persiapkan masker / sapu tangan sebagai pelindung hidung. Di tempat wisata banyak yang menyediakan, namun harganya sedikit mahal.
Beberapa minggu lalu saya punya sedikit waktu untuk mengunjungi Jogja.
Tempat yang terasa seperti Rumah Kedua ini tidak pernah bosan saya kunjungi.
Meskipun begitu selalu ada hal baru yang saya dapatkan.
Berniat mencari sesuap nasi sebagai pengganjal perut pagi hari, saya berjalan di sekitar penginapan yang saya sewa. Penginapan saya di daerah jl. Dagen, Malioboro.
Sepanjang jl. dagen banyak sekali penginapan-penginapan bertarif murah dengan biaya sewa antara IDR 100k-300k. Lokasinya cukup rapi dan cukup membuat saya nyaman untuk berjalan kaki pagi itu.
Saya terus berjalan hingga menjumpai gerobak soto pinggir jalan, penjualnya ibu-ibu tua, mungkin umurnya sekitar 60 tahun. Dengan wajah ikhlas menawarkan saya semangkuk soto dengan telur separuh dan teh manis hangat seharga IDR 9k saja.
Sambil menikmati soto lezat itu, saya kemudian bertanya pada si ibu,
“Ibu sudah lama berjualan di sini?” sudah lama sekali nak
“Lalu siapa yang membantu ibu membawa gerobak besar ini setiap pagi?” ada, anak saya yang paling kecil
“Berapa umur anaknya bu?” 25 nak, tapi belum mau menikah… Padahal kakak-kakaknya sudah punya anak semua
Sambil tersenyum saya balas
“Santai bu, umur 25 masih muda, biasanya masih senang-senangnya bekerja, anak ibu yang terakhir putra / putri?” laki-laki, dua kakaknya wanita. Yah biarlah namanya anak penginnya kemana, kalau ibu paksa nikah juga belum tentu barokah
Saya kemudian tersenyum kembali dan menghabiskan sisa nasi soto buatan si ibu.
Semangkuk soto pinggir jalan yang lezat, ditambah bumbu cerita dan kecap harapan dari si ibu telah menyempurnakan pagi saya saat itu. Terima kasih Tuhan Maha Baik.
Selesai makan saya melanjutkan jalan kaki, namun karena ingin melihat lebih banyak lagi dengan waktu yang terbatas akhirnya saya memutuskan untuk menyewa sebuah becak untuk mengantarkan saya berkeliling.
Pertama saya menjumpai becak dan pemiliknya yang sedang menunggu pelanggan, nampak memikirkan sesuatu yang lebih besar dari becaknya sendiri.
apakah yang kau lihat kosong padahal sebenarnya sangat penuh?
dan benarkah apa yang kamu lalui sudah cukup berat?
berapa banyak kau menghitung kesempatan?
Apakah harus kau tunggu selayaknya deretan becak kosong?
menyerahkan diri kepada roda, beristirahatlah sejenak si unguku 🙂
hey lihat ada kereta kuda! Mari kita tengok Cinderela
ah tentu saja, ini Malioboro yang melegenda
tempat yang menggoda, mungkin lain kali duhai Penjaga
tak akan kurang untuk ekspresi imaji
seorang anak menunggu dengan setia ayahnya yang bekerja. Adek kecil, besok kalau besar ingin jadi apa?
“I don’t believe in failure. It is not failure if you enjoyed the process”-Oprah Winfrey
Kegagalan dalam usaha menikmati pasir putih dan jernih air laut tidak membuat saya dan teman seperjalanan menyerah. Kami tetap melanjutkan perjalanan meski harus berubah arah.
Karena tidak jadi ke Karimun Jawa seperti cerita sebelumnya ,akhirnya saya memutuskan pergi ke Jogja dan Klaten.
Nah kali ini saya pergi ke Mata Air Cokro Tulung atau sering juga disebut dengan Umbul Ingas. Mata air ini merupakan salah satu tujuan wisata favorit masyarakat di daerah Klaten dan sekitarnya.
Saya sendiri sebenarnya tidak asing dengan daerah ini karena ayah lahir di Klaten, waktu kecil kami sekeluarga pernah menikmati segarnya air yang juga dijual oleh perusahaan air mineral besar di Indonesia.
Sebelum memasuki daerah pemandian, pengunjung harus melewati jembatan gantung terlebih dahulu.
Tentu saja, jembatan gantung ini tidak akan gue lewatkan begitu saja tanpa berfoto narsis.
Tempatnya sebenarnya sangat sederhana, hanya seperti sungai yang dibendung dengan kedalaman kira-kira 80cm,di pinggiran sungai / pemandian tersebut terdapat pohon-pohon rindang yang membuat sungai makin sejuk, juga banyak pedagang yang menyewakan tikar dan menyediakan makanan & minuman bagi pengunjung.
Setelah bersantai dengan tiduran di bawah pohon, akhirnya gue masuk juga ke sungai / pemandian tersebut.
Air yang sangat jernih dan cukup dingin itu mampu buat badan gw gemeteran kedinginan, tapi dingin itu langsung terlupakan saat gue mulai jepra-jepret dengan underwater camera ,ga disangka, pemandangan dari dasar sungai benar-benar indah.
Disarankan bagi yang ingin mengabadikan keindahan dasar sungai Cokro Tulung untuk membawa underwater camera atau underwater case buat smartphone, tidak disarankan menggunakan smartphone yang dibungkus plastik es (karena pernah ada yang mencobanya dan bocor) 😀
Singkat cerita, kegagalan ternyata membawa saya kepada keindahan lain. Selama kita masih berusaha dan menikmati apa yang ada, maka tak perlu khawatir. 🙂
Oke, jadi akhir bulan Agustus 2013 ini saya punya free time sekitar satu minggu karena saya baru saja resign dari kantor lama dan baru masuk kantor baru awal bulan September.
Waktu selama jadi pengangguran itu pastinya saya manfaatkan buat jalan, karena harga dollar yang sedang melonjak berbarengan dengan letoy-nya rupiah, paling aman memang ngetrip dalam negri aja. Dan sebagai cah Semarang saya merasa malu belum pernah pergi ke Karimun Jawa, jadilah akhirnya gue memutuskan pergi ke Pulau yang sebenarnya hanya sekitar 6 jam perjalanan (3 jam darat dan 3 jam laut) dari Kota Semarang.
Perjalanan kali ini saya bareng sama temen ngetrip baru @IhsanWahyu, makhluk langka yang gue temukan di social media ini juga punya antusiasme yang sama buat mengunjungi Pulau di utara Jepara ini, dan jadilah perjalanan (drama) kami dimulai.
Drama pertama dimulai ketika travel-mate saya tidak juga kunjung di approve sama boss, akhirnya booked tiket ditunda sampe doi dapat kepastian. Setelah menanti sekian lama akhirnya cuti doi di approve PADA H-2! Setengah kelabakan kita cari tiket kereta buat ke Semarang dan ternyata sudah habis semua! Ada tiket kereta yang berangkat jam 5.45 sore, namun Ihsan baru landing di Soetta (dari Jambi) jam 7.30 malam. Akhirnya kami memutuskan buat berangkat sendiri-sendiri, saya ambil tiket jam 5.45 sore dan dia entah bagaimana yang penting sampai Semarang sebelum jam 4 pagi.
Untungnya di hari H keberangkatan gue dapat tiket kereta dari seorang calo (we know this is illegal but… Hey! We are trevelers rite?) :p
Drama kedua, si ibu calo insecure minta tiket diambil pada saat itu juga (jam 12 siang) padahal saya tidak bisa ninggalin kantor buat ambil tiket, si ibu tidak mau tiket diambil malam hari setelah Ihsan sampai Gambir. Dan akhirnya saya minta si Ibu buat ke kantor saya di Gatsu buat antar tiket. Sampai jam 3 sore si ibu belum nongol juga, saya telpon katanya nyasar sampai ke Senayan, padahal saya harus cabut jam 4 sore menuju Gambir, takut jalanan macet karena waktu itu hari Jumat. Dan dengan ngomel-ngomel akhirnya si ibu berhasil menyerahkan tiket jam 4.30 sore. (Fiuh)
Permasalahan selanjutnya adalah : bagaimana cara menyerahkan tiket kereta Ihsan, karena saya berangkat jam 5.45 sore sedangkan doi baru sampai paling cepat di Gambir sekitar jam 8.30 malem *zoom in zoom out*. Beruntung saya punya banyak temen kece yang siap bantu, tiket bisa dititipkan di kantor @ekaotto di kawasan Menteng. Nah! Berarti saya harus ke kantor Eka dulu donk sebelum ke Gambir, alhasil setelah dapat tiket, saya secepat kilat beberes, pamitan sama orang kantor dan langsung suit-suitin tukang ojek yang mangkal depan kantor buat anter gue ke Menteng lanjut ke Gambir.
Tukang ojek tercinta ternyata ahli bener ngebut dan cari jalan tikus, setelah menitipkan tiket ke Eka, saya langsung ke Gambir dan sampai jam 5.15 sore. Sampai Gambir saya sudah ditunggu ayang accu si @yudhowibowo yang juga mau ikut ngetrip ke Karimun mumpung dia masih cuti.
Tak berhenti sampai di situ Saudara-Saudara sekalian! Pas buka HP ternyata ada pesan dari tour guide kami untuk ke Karimun yang memberitahukan bahwa penyebrangan ke Karimun DITUTUP karena faktor cuaca *drop*
Berita itu langsung saya sampaikan ke Yudho dan dengan spontan Yudho memutuskan untuk membatalkan perjalanannya. Tiket seharga IDR 350k pun hangus *puk-puk Yudho*.
Oke, berarti gue harus siap ke Semarang sendiri, di saat yang sama Ihsan kasih kabar kalo pesawat dia delay. (YA TUHAN) Kalau tidak delay saja, Doi landing jam 7.30 malam, lha ini ketambahan delay 30 menit, berarti paling cepat jam 8 malam sampai Soetta, trus menembus kemacetan Jakarta di hari Jumat buat ambil tiket ke Menteng balik lagi ke Gambir karena jadwal kereta jam 9.30 malam. Satu setengah jam kesempatan doi jadi pemain film Taxi (atau Fast 7).
Dan akhirnya doi berhasil sampai di Gambir tepat waktu, gue sampai di Stasiun Tawang Semarang jam 1.30 dini hari sedangkan Ihsan baru sampai jam 4 pagi, kata mas tour guide ke Karjaw, mereka tetap akan berangkat ke Jepara dan mengecek langsung kondisi penyebrangan. Karena kepalang basah ya udah gue sama Ihsan ikut aja ke Jepara.
Dan berangkatlah kami ke Jepara melalui medan berliku dan sopir bus Semarang-Jepara yang tak hentinya mengangkat telpon selama menyetir, setelah sempat berdesakan dan dioper dengan semena-mena akhirnya kami sampai di Pelabuhan Pantai Kartini Jepara.
Setelah menunggu seharian, dan tetap penyebrangan ga bisa dilakukan (bahkan kapal ferry harus bersandar) kami memutuskan untuk tinggal di Hotel di Jepara dan menunggu satu hari lagi, mencoba peruntungan terakhir siapa tau bisa menyeberang esok harinya.
Walau akhirnya kami tetap tidak bisa menyebrang karena ombak terlalu tinggi (patah hati) namun bukan alasan untuk ga melanjutkan petualangan.
Karena hanya bisa berkeliling seputar Jepara hari itu, jadilah kami menangkap “pesona” alam yang bisa didapat di sekitar Pantai Kartini dan Pantai Bandengan Jepara.
Selama perjalanan Lombok-Gili kemarin gue mendapat banyak cerita dan pengalaman.
Dimulai dari scam yang sudah gue posting sebelumnya di sini , tadinya guw kira kejadian menyebalkan semacam itu sudah berhenti, ternyata sekembalinya gue dari Gili menuju Kuta gue masih menemui beberapa kejadian menyebalkan lainnya.
Pertama, kapal sewaan pribadi yang dijanjikan kepada kami untuk Pulang-Pergi Bangsal -Gili Trawangan tidak pernah ada. Kapal yang guei tumpangi dari Gili Trawangan ke Pelabuhan Bangsal Lombok ternyata juga kapal publik sama seperti saat berangkat *sigh*, untung di kapal banyak bule ganteng nan kekar yang bisa bikin hati adem (oke ini out of topic).
Sesampainya di Dermaga Bangsal, kami langsung diserbu oleh belasan orang dari mulai kuli panggul yang kadang ga pakai konfirmasi langsung angkat barang kita dan saat diturunkan mereka minta bayaran, sampai orang-orang yang berteriak menanyakan tiket perjalanan selanjutnya yang pada akhirnya gue sadari mereka adalah calo-calo tiket gelap sekaligus penipu yang suka mengambil tiket wisatawan untuk kemudian dijual kembali.
Pasti kalian bertanya “hah?! Bagaimana bisa? maksudnya apa?” gitu kan ya? ya KAN?! baiklah kalau kalian memaksa gue ceritain sekarang “digebuk*. Jadi semenjak wisatawan baik lokal maupun asing masih di atas kapal dan hendak mau turun, di sekitar kapal biasanya sudah ada orang-orang yang berkerumun menanyakan tiket, gue sendiri waktu ditanya oleh mereka gue perlihatkan tiket gw, dan untungnya saat itu tiket gue ga diambil sama itu orang-orang. Beberapa wisatawan yang tidak beruntung, setelah mereka menunjukkan tiket, maka tiket akan diminta oleh calo-calo penipu tersebut, dengan mengaku sebagai sopir bus / travel yang akan membawa wisatawan ke tujuan selanjutnya, mereka telah berhasil mengelabui wisatawan lugu nan polos dan kemudian kabur membawa tiket travel tersebut untuk kemudian dijual lagi kepada wisatawan lain. Satu hal yang memungkinkan hal tersebut terjadi adalah tiket-tiket yang tidak diberi nama lengkap dan ID calon penumpangnya, ga heran tiket-tiket bodong tersebut gampang banget diperjual belikan.
Kedua, apabila belum pernah ke Gili via Bangsal sebelumnya, jangan mudah percaya apa yang dikatakan masyarakat lokal. Misalnya kami telah dibohongi karena “harus” naik cidomo (kereta kuda) dan membayar IDR 20-30k untuk perjalanan yang hanya berjarak sekitar 200-300 meter :(. kalau memang males jalan segitu, bawaan terlalu berat atau memang centil aja ya silahkan kalau tetap ingin menggunakan jasa cidomo, tapi kalau ingin menghemat dan tidak menghamburkan uang ya sebaiknya bisa dengan tegas menolak orang-orang yang menawarkan cidomo. Mereka menawarkan cidomo dan kemudian mulai mengelabui wisatawan dengan cara-cara sebagai berikut :
Travel / Bus yang masuk ke Bangsal harus berhenti di terminal, sekitar 300 meter dari pelabuhan, dari terminal, kemudian si sopir travel kita akan bilang “silahkan menyewa cidomo untuk kemudian diantar ke pelabuhan” sopir tersebut akan menambahi dengan kata-kata seperti “pelabuhannya masih jauh” atau “nanti capek”. Setelah itu, gue diantar cidomo ke sebuah loket penjualan tiket yang ternyata hanyalah COUNTER AGEN TRAVEL yang telah menipu gue 🙁
Di agen travel abal-abal tersebut kami diberi tahu bahwa kapal yang menuju Gili Trawangan baru saja berangkat, dan gue beserta satu orang temen gue merupakan dua penumpang yang tersisa. sedangkan kapal selanjutnya akan berangkat saat sudah terdapat 30-40 orang lagi. Tips : kapal menuju Gili Trawangan berangkat setiap jam mulai pukul 8.00 pagi hingga 16.00 sore, jadi jangan takut kehabisan kapal publik.
Nah, balik ke perjalanan dari Bangsal ke Kuta Lombok. Kami dengan selamat telah bertemu dengan sopir travel yang akan mengantar kami menuju Kuta Lombok, travel dengan mobil APV tersebut menaikkan enam penumpang, Gue, Temen gue, 2 cewek bule, 1 cowok bule dan 1 mbak-mbak wisatawan lokal dari Bandung.
Baru sekitar 45 menit perjalanan, sopir menghentikan mobil di depan sebuah kantor travel yang tutup. Kemudian dengan wajah bingung sopir menyampaikan ke tiga bule yang duduk di belakang kalau mereka harus turun disitu. Sopir bus mengatakan kalau dia hanya dititipi oleh temannya untuk mengantar 3 bule tersebut ke tour & travel tersebut, tiga bule menyanggah dan mengatakan kalau mereka sudah membayar full untuk dapat diantar sampai ke Kuta Lombok. Si sopir bilang kalau mereka tidak punya tiket, mereka tidak bisa diantar sampai ke Kuta, si bule bilang “gimana kita bisa punya tiket, orang tadi tiketnya aja diambil sama orang yang ngaku sopir kok” *dang*
Gue dan temen gue akhirnya berusaha membantu dan menengahi antara sopir dengan tiga bule tersebut, menelpon agen tour yang tidak aktif nomornya, menelpon kantor yang tidk diangkat karena tutup dan akhirnya pasrah. Sopir kami membawa kami ke tempat lain dan akhirnya mengatakan akan memberi solusi bagi tiga bule tersebut.
Yang terjadi solusi yang diberikan adalah : memaksa tiga bule tersebut untuk membeli tiket pulang pergi Kuta-Gili atau Kuta-Bali, salah satu bule cewek yang kemudian gue ketahui namanya Anja mengatakan (dengan translate) “gue ga perlu tiket PP gue cuma mau bayar dari sini ke Kuta” tapi sopir kami memaksa, akhirnya Anja dkk mengalah dan membeli kembali tiket seharga IDR 200K.
Belum berhenti sampai disitu, kami (gue, temen gue dan 3 bule) juga disuruh pindah mobil dengan alasan si sopir masih menunggu penumpang lain dan itu lama. Karena sudah marah, capek dan sudah diburu waktu kami menurut saja, dan yang terjadi selanjutnya kami dipindahkan ke mobil L300 tua tanpa AC dan dengan kursi sudah rusak dimana-mana *nangis*, namun karena tak punya pilihan lain kami pasrah saja dan tetap menikmati perjalanan dengan Angin Jendela.
Jadi ya teman-teman, semua itu ternyata sindikat, mulai dari sopir travel sampai ke kusir cidomo sudah bekerja sama untuk menipu. Sopir travel yang kami percayai pun akhirnya menipu kami dengan memindahkan kami ke mobil tua busuk hingga sampai ke Kuta. Si sopir juga gue yakin tau kalo tiga bule itu ga bawa tiket, makanya bisa sembarangan nurunin penumpang. Bayar 200 ribu hanya untuk naik mobil busuk itu menyedihkan sekali, rasanya sudah seperti ditipu pacar *yak lebay lagi*.
Ketiga, sewaktu di Kuta kami jadi akrab dengan tiga bule yang sama-sama jadi korban penipuan, nama mereka Anja, Heika dan Gary. Malam terakhir gue di Kuta, gue, Gary dan Anja mengobrol disebuah bar tradisional di tepi pantai. Dari ngobrol-ngobrol tersebut gue tau berbagai cerita yang mereka alami selama perjalanan Gili-Kuta.
Mereka bilang bahwa masyarakat sekitar sering bersikap tidak sopan dan tidak menghargai wisatawan, terutama wisatawan asing, diluar penipuan tiket, ternyata Anja juga mengalami pelecehan dimana saat berada di Gili, dia sedang bersantai di tepi pantai dan tiba-tiba ada orang lokal yang menggelitik dan mencubit pipinya, setelah ditolak dengan halus oleh Anja, orang lokal tersebut bukannya mundur malah dengan pedenya mencium Anja tepat di bibir! ugh.. kalo gw udah gw gamparin kali ya, tapi apa daya, kadang wisatawan juga takut kalo melawan orang lokal, sadar dia disana cuma cewek dan sendirian, akhirnya cuma ditolak secara halus. 🙁
Gary bule dari UK juga menceritakan hal yang sama, hampir semua orang penduduk lokal yang dia temui, menawarkan ganja, alkohol, drugs, mushroom dan lain-lain. Dan bukan hanya menawari, mereka bahkan sedikit memaksa. Padahal Gay sendiri sudah berhenti merokok dan tidak ingin mencoba hal-hal yang ditawarkan itu, “mereka pikir semua bule sama apa? doyan giting sama mabok gitu?” kira-kira gitu translate kata-kata Gary.
Anja kemudian cerita kalau ada temannya sesama traveler yang datang ke Gili, setelah 4 bulan Anja menghubungi temannya tersebut, dia pikir temannya sudah berkeliling Indonesia, ternyata tidak. Temannya itu masih tinggal di Gili dan kerjaanya setiap hari hanya giting, mabok, tidur setiap hari. Sayang sekali ya.. gue sendiri bebas aja kalo orang mau smoking weeds atau drunk, tapi kalau sampai kayak gitu kasian juga :(.
Paginya, gue mengantar Anja, Gary dan Heika untuk pindah ke Banana Guest house, sesampainya disana kami ketemu sama cewek bule yang sudah dua minggu di Kuta Lombok, dia kemudian cerita betapa masyarakat lokal sangat primitive serta tidak menghargai mereka, seperti memasang harga semaunya, pelayanan buruk, tidak menjawab arah yang tepat saat ditanya, memaksa apabila menjual sesuatu, dan banyaknya pungli di tempat wisatanya sendiri. Gue sedih dan prihatin, karena sebenarnya masyarakat Lombok itu cukup ramah, ya hanya saja ada beberapa sikap yang perlu diperbaiki kalau mereka ingin pariwisata disana maju.
Satu hal catatan gue, kesiapan dalam mengelola tempat wisata juga harus dibarengi dengan kesiapan masyarakatnya. Pendidikan yang cukup, pengetahuan yang memadai, jaga keamanan dan kenyamanan pengunjung. Gue tau bahwa kita tidak selamanya bisa menuruti keinginan orang lain, tai setidaknya penuhi kebutuhan dasarnya, terutama di tempat wisata seindah Lombok. Pemerintah sekitar harusnya bisa lebih sensitif dengan keamanan dan premanisme.
Demikian catatan pinggir yang lebih panjang dari main story-nya sendiri hahaha. Semoga dapat mencegah orang-orang untuk mengalami kejadian buruk serupa.