Lombok Selatan : surga tersembunyi

Perjalanan saya dari Gili Trawangan menuju Lombok Selatan memakan waktu kurang lebih 3,5 jam dengan boat ditambah mobil sewaan.

Sewaktu memasuki wilayah pantai Kuta, yang saya lihat dari tempat ini adalah kesederhanaan.
Belum ada cafe atau diskotek dengan bangunan modern, bahkan saya jarang menjumpai hotel-hotel mewah di sepanjang jalan. Berbeda dengan kawasan pantai Senggigi yang sudah banyak “dipercantik”, kawasan Lombok Selatan masih menawarkan keluguannya sebagai tujuan wisata.

20130316-024406 PM.jpg
kamar kami di Hotel Astura, Lombok

Saya menginap di Tastura Hotel, persis di depan pantai Kuta dengan tarif IDR350k/ malam. Hotel dengan bangunan yang bergaya tahun 70-an tersebut mempunyai taman yang sangat luas dan kamar mandi denan atap terbuka. Benar-benar terasa suasana pedesaanya.

Begitu sampai kami langsung menyewa motor dengan tarif IDR50k/ hari dan langsung berkeliling pantai di sepanjang pesisir Lombok Selatan hingga Lombok Tengah.
Terdapat beberapa pantai indah yang masih sangat sepi dengan pasir putih, ombak yang tenang dan warna laut hijau kebiruan, saya seperti melihat surga tersembunyi sepanjang perjalanan menyusuri pantai. Beberapa pantai yang kami kunjungi seperti Pantai Kuta, Pantai Aan, Pantai Kotak, Pantai Seger, dan juga pantai Gerupuk. Untuk pantai yang terakhir, merupakan pantai favorit wisatawan yang ingin berselancar karena ombaknya.

20130316-024710 PM.jpg
pohon ini bagai di cerita Alice inwonderland

Setelah lelah berkeliling Pantai, saya kemudian bersantai sambil menikmati makanan dan minuman disalah satu kafe yang banyak berjajar sepanjang Pantai Kuta.

20130316-024911 PM.jpg
pasir putih di pantai Kotak

Tak selang berapa lama, beberapa teman turis asing yang satu mobil dengan kami sejak perjalanan dari Gili ikut bergabung, kami kemudian saling bertukar cerita mengenai pengalaman traveling masing-masing hingga malam.
Malamnya kami makan malam di sebuah warung nasi goreng Jawa. Yang menarik dari warung ini adalah : meskipun warungya tradisional dan seperti warung nasi goreng yang biasa terdapat di kampung-kampung, tapi 90% pengunjungnya adalah turis asing. Bahkan hanya saya dan satu orang teman yang merupakan orang Indonesia di warung tersebut.
Di Lombok Selatan, lebih banyak guest house (dengan harga mulai IDR80k-IDR150k) dan warung tradisional daripada Hotel berbintang. Setahu saya hanya Hotel Novotel satu-satunya Hotel berbintang yang berada di tempat tersebut. Wisatawan Asing yang kebanyakan merupakan backpacker juga lebih suka tinggal di guest house dengan alasan mengirit budget. Satu yang sangat terkenal adalah Banana Guest House.
Selama berkeliling Lombok Selatan saya lebih sering berjumpa dengan turis asing daripada wisatawan lokal dari dalam negeri.
Malam setelah makan malam, saya dan dua backpaker dari Norwegia dan UK melanjutkan mengobrol di salah satu bar di Kuta, namun jangan harap akan bisa nongkrong sampai pagi di Bar tersebut, karena rata-rata bar dan cafe hanya buka hingga pukul 11 malam.

20130316-025334 PM.jpg
Kolam renang hotel

foto-foto lain silahkan lihat di galeri 🙂

Gili Trawangan : Negara Pesta Mimpi

20130312-113428 PM.jpg
ini salah satu sudut dermaga Bangsal, air mineral galon dan tabung gas siap diangkut

Meski masih sedikit kesal setelah mendapatkan scam pada awal perjalanan kapal, tidak berselang lama setelah itu saya pun terhibur oleh indahnya pemandangan selama berada di atas kapal. Hamparan biru laut dengan ombak yang cukup tenang, ditambah dengan deretan bukit dari pulau-pulau di sekitar memanjakan mata saya selama kurang lebih 30 menit penyebrangan.

20130312-113556 PM.jpg
di dalam kapal menuju Gili Trawangan

Sesampainya di Pelabuhan Gili Trawangan saya tak bisa menahan diri untuk segera mengambil foto pemandangan dari pantai.

20130312-113705 PM.jpg
Dermaga Gili Trawangan

Apabila belum sempat booked hotel, di Pelabuhan banyak sekali calo dan makelar villa yang menawarkan tempat mengunap dengan harga bervariasi, mulai dari IDR250k- IDR1200k dapat mereka sediakan.

20130312-113855 PM.jpg
teras Hotel kami
20130312-114043 PM.jpg
pemandangan kolam renang dari hotel

Saya sudah memesan hotel di The Beach House dengan tarif IDR550K per malamnya.

20130312-113932 PM.jpg
Standard Room

Dengan mengendarai cidomo, saya menuju hotel yang berada di daerah timur pantai. Hal menarik sengan cidomo yang saya tumpangi adalah si Noah, kusir bule yang mengantarkan saya. Bukan kusir betulan, hanya anak dari salah seorang pengusaha ekspatriat yang membuka butik di Gili Trawangan.

20130312-113747 PM.jpg
Noah kusir kecil kami
20130312-113959 PM.jpg
berfoto dulu dengan Noah

Gili bagi saya seperti sebuah Negara Mimpi, dimana semua orang bebas (dan disarankan) untuk berpesta, berpetualang, bersantai, dan makan sekenyangnya. Daerah yang dipadati wisatawan mancanegara itupun sudah seperti bukan sedang berada di Indonesia.

20130312-114329 PM.jpg
bersantai di pinggir pantai (padahal niatnya mau foto si bule mirip David Beckham :D)
20130312-114606 PM.jpg
Restoran tepi laut di depan hotel kami

Untuk berkeliling Gili saya menyewa sepeda dengan tarif IDR50k per hari, banyak hal yang dapat saya lakukan dalam waktu sehari; mampir di berbagai cafe sambil berkenalan dengan wisatawan lain, mencicipi gelato Gili, spa, berkeliling pulau-pulau dengan kapal, snorkeling, diving, atau sekedar main kano.

20130312-114435 PM.jpg
life of Vi
20130312-114301 PM.jpg
bersantai sambil melihat wisatawan snorkeling

Pada malam hari di beberapa kafe dan bar menyelenggarakan pesta hingga pagi. Dan karena sudah seperti Negara Mimpi, berbagai pesta gila terjadi setiap hari.
Tak sedikit yang menawarkan ganja, mushroom, hingga obat-obatan terlarang selama berpesta. Dan karena ini merupakan Negara Pesta dan mimpi, maka hal tersebut terlihat biasa.

20130313-035444 PM.jpg
meikmati ‘lalu lintas’ air yang padat
20130312-114134 PM.jpg
Jus nanas segar di salah satu Cafe

Penduduk lokal Gili juga sangat menyukai Wanita-wanita dari pulau Jawa, terutama Sunda. Selama saya disana beberapa kali penduduk lokal bertanya kepada saya apakah saya orang sunda, dan setelah saya jawab tidak, sepertinya mereka sedikit kecewa. Haha.

20130312-114632 PM.jpg
kemilau air, pegunugan dan kepulauan
20130312-114709 PM.jpg
kembali ke Lombok
20130312-114210 PM.jpg
perpaduan warna langit, awan dan airnya buat ternganga ya

20130312-114653 PM.jpg

20130312-114407 PM.jpg

20130313-035138 PM.jpg
bye Gili! see you soon

Dermaga Bangsal Lombok : waspada penipuan tiket dalam perjalanan.

Perjalanan saya ke Gili Trawangan dapat dikatakan tidak terlalu mulus.
Di awal perjalanan saya menyewa mobil dan sopir yang saya temui pada malam sebelumnya, setelah setuju dengan harga sewa mobil termasuk bensin sebesar IDR 250k, si bapak langsung menjemput ke hotel.
Perjalanan dari Praya menuju dermaga kapal di Bangsal kurang lebih berjarak 49km dengan waktu tempuh perjalanan kurang lebih 1 jam 45 menit. Selama perjalanan saya sampai memaksa mata untuk terus terbuka lebar karena setiap titik yang saya lewati selalu dipenuhi pemandangan indah, mulai hamparan sawah, perbukitan hingga pesisir pantai sepanjang Mataram – Senggigi – Bangsal.
Sampai di Bangsal kami naik cidomo (kereta kuda) ke tempat penjualan tiket kapal. Kami pun langsung menanyakan tiket yang tersedia untuk kapal biasa dengan harga tiket IDR10k.
Petugas tiket menyampaikan bahwa kapal biasa baru kami saja calon penumpangnya, padahal kapal publik harus berisi 30-40 orang sekali jalan. Kami pun disarankan untuk menyewa kapal pribadi seharga IDR 400k / orang.
Karena terlalu mahal kami tidak mau mengambil paket tersebut, dan setelah tawar menawar akhirnya si penjual tiket menawarkan paket antar jemput PP dari Bangsal-Gili Trawangan dan Gili Trawangan-Kuta sebesar IDR300k.
Kata si penjual, kapal tersebut merupakan kapal sewaan pribadi. Karena sudah pukul 12 siang akhirnya kamipun setuju.
Begitu naik ke kapal kami baru sadar bahwa kami terkena scam oleh penjual tiket. Kapal yang kami tumpangi menuju Gili Trawangan ternyata kapal publik biasa yang seharusnya harga tiketnya IDR10k, dan karena tiket pulang Gili-Kuta IDR 200k, maka kami membayar IDR100k untuk tiket kapal Bangsal-Gili yang seharusnya seharga IDR10k. Antara jengkel dan pasrah kami melanjutkan perjalanan.
Tips : apabila hendak ke Gili dari Bangsal, sebaiknya cek terlebih dahulu kondisi dermaga, apabila perlu beli tiket saat akan naik kapal saja, jangan membeli tiket sebelum tahu benar kondisi kapal yang akan berangkat.
Akan lebih baik berangkat lebih awal (sekitar pukul 8 pagi) karena pada pagi hari kapal-kapal yang menuju Gili masih banyak.

Praya Lombok, si “Gadis malu-malu”

Kedatangan saya di Bandara Praya, Lombok Tengah disambut gerimis pada malam hari. Bandara yang mulai beroperasi sejak tahun 2011 ini tidak terlalu besar, namun cukup untuk sebuah penerbangan internasional.
Keluar dari pintu kedatangan, saya langsung dikerumuni oleh para calo tiket dan orang-orang yang menawarkan paket tour selama di Lombok, sembari menunggu jemputan dari Hotel, saya iseng-iseng bertanya tarif untuk antar jemput selama perjalanan hingga akhirnya mencatat nomor telp salah satu pengemudi untuk nanti apabila saya butuh transportasi.
Berselang beberapa menit penjemput dari hotel datang, dengan sedikit geli saya memerhatikan si Bapak penjemput yang datang menjemput tamu hanya berpakaian sarung dan jaket. Setelah beberapa langkah menuju tempat parkir mobil, saya kemudian mengerti, bahwa sarung di kota ini merupakan pakaian casual mereka. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya orang yang berlalu lalang di bandara hanya dengan memakai sarung dan kaos.
Saya menginap di Hotel Grand Royal Praya, satu-satunya hotel terdekat dari bandara, hanya berjarak kurang lebih 3km dengan waktu tempuh sekitar 7-10 menit perjalanan menggunakan mobil.
Kota Praya pada pukul 10.30 malam waktu setempat sudah seperti kota mati, hampir tak ada kendaraan berlalu lalang maupun toko atau tempat hiburan yang buka, mungkin karena tempat ini baru mulai “menggeliat” dalam hal pariwisata. Padahal kalau dilihat kotanya cukup cantik, hotel yang saya tempati juga cukup bagus dengan rate IDR509k per malam, kalau diibaratkan kota Praya ini seperti gadis desa cantik yang masih malu-malu untuk menunjukan pesonanya.
Sayapun kemudian beristirahat untuk kemudian bersiap menuju Gili pagi harinya.

Foto-foto silahkan di lihat pada galeri.

Perjalanan 3 kota – Bukittinggi

Akhirnya sampailah kami di kota tujuan utama perjalanan kami, Bukittinggi.
Kami tiba malam hari, setelah sebelumnya sempat mencicipi jagung manis F1 di daerah Koto Baru Batu Hampar.
Ada beberapa tempat yang kami kunjungi di Bukittinggi sebagai berikut :
1. Jam Gadang
Tentunya belum disebut berkunjung ke Bukittingi apabila belum menengok secara langsung Jam yang jadi Kebanggaan Kota Bukittinggi. Jam berukuran raksasa yang selalu berbunyi setiap 60 menit ini cukup menarik perhatian pengunjung untuk diambil fotonya.

20130224-082942 PM.jpg
Seperti tempat wisata lain di negeri ini, tentunya akan banyak pedagang yang menggelar dagangan di sekitar. Sangat menguntungkan apabila tidak punya banyak waktu untuk berbelanja di pasar wisata.
Selebihnya katena sudah larut malam, kami hanya sempat makan di salah satu tempat makan unik bercat orange bernama Hau’s Tea. Sayangnya karena sudah terlalu lapar, saya tak sempat mengambik foto restorannya.
20130224-083326 PM.jpg
2. Lobang Jepang.
Pagi harinya kami berkeliling dengan berjalan kaki, lokasi yang kami lewati pertama kali adalah Lobang Jepang.
Gua buatan yang dibangun pada masa penjajahan Jepang ini dahulu dimanfaatkan sebagai benteng dan tempat persembunyian tentara Jepang. Saya hanya mengambil foto dari sisi luar karena harus bergegas menuju Ngarai Sianok.
3. Ngarai Sianok.
Ngarai atau lembah Sianok, salah satu tempat yang membuat saya kagum karena alamnya. Sepanjang mata memandang saya melihat tembok-tembok raksasa dari batuan yang mengelilingi sungai. Lokasi tersebut juga sering dimanfaatkan untuk lomba off road.
Di Ngarai Sianok juga terdapat objek wisata baru bernama Janjang Koto Gadang atau The Great Wall of Koto Gadang, bangunan yang menyerupai tembok besar Cina ini memikat banyak pengunjung termasuk pengunjung warga Bukittinggi sendiri. Sayangnya karena untuk menuju tempat tersebut kami harus lewati antrian panjang melewati Jembatan Gantung, maka kami mengalihkan perjalanan dengan tracking di sepanjang sungai yang tak kalah serunya.
3. Taruko Cafe Resto
Cafe yang terletak di tengah-tengah lembah ini menawarkan bukan hanya pemandangan yang indah, namun juga makanan -makanan lezat dengan harga sangat terjangkau. Apabila baru pertama kali ke Bukittinggi, sebaiknya menghubungi tour guide untuk datang ke tempat ini. Karena selain lokasinya yang masuk ke dalam, tak ada penunjuk jalan ke tempat tersebut.
4. Fort de Kock
Kurang yakin apakah saya menuliskan nama benteng ini dengan tepat, namun benteng penginggalan Belanja yang dahulu digunakan untuk menara pengawas ini akan sangat sayang untuk dilewatkan. Pemandangan dari benteng ini sangat menawan, bisa melihat separuh kota Bukittinggi, ditambah lokasinya yang dekat dengan Kebun Binatang kota, jadi sekali dayung dua tempat dijalani.
5. Pasar Wisata
Tidak usah saya jelaskan lebih lanjut, bagi yang ingin berbelanja oleh-oleh Bukittinggi, disinlah tempatnya.
6. Museum Moh. Hatta
Siapa yang tak kenal proklamator RI kelahiran Bukittinggi ini? Bagi yang ingin napak tilas ke kediaman beliau, dapat singgah ke Museum Moh. Hatta ini.

Mengitari Bukittinggi cukup dengan berjalan kaki, selain lebih sehat, akan banyak pemandangan dapat tereksplor.
Untuk masalah makanan, tentunya semua sudah mengamini betapa lezatnya makanan Padang. Namun jangan khawatir, bagi yang ingin menu selain masakan Padang, akan banyak tempat makan yang dapat dijumpai, dengan harga terjangkau tentunya. 20130224-090516 PM.jpg20130224-090500 PM.jpg20130224-090633 PM.jpg20130225-011517 AM.jpg20130225-011542 AM.jpg20130224-090403 PM.jpg20130224-090540 PM.jpg20130225-011229 AM.jpg20130224-090922 PM.jpg20130225-011313 AM.jpg20130225-011350 AM.jpg20130225-011500 AM.jpg20130225-071735 AM.jpg20130225-071809 AM.jpg20130225-072144 AM.jpg20130225-072031 AM.jpg20130225-071941 AM.jpg20130225-072014 AM.jpg20130225-072057 AM.jpg20130225-073633 AM.jpg20130225-073650 AM.jpg20130225-073722 AM.jpg20130225-073817 AM.jpg20130225-073905 AM.jpg20130225-074027 AM.jpg20130225-074105 AM.jpg20130225-074038 AM.jpg20130225-074051 AM.jpg

20130225-075008 AM.jpg

20130225-075030 AM.jpg

20130225-075019 AM.jpg

20130225-075107 AM.jpg

Perjalanan 3 kota – (tambahan kota) Payakumbuh

Rencana perjalanan berubah, tadinya kami berencana akan langsung berangkat ke Bukittinggi tanpa menginap di Pekanbaru, namun teman kami penduduk Pekanbaru memberi saran lebih baik melakukan perjalanan darat pada siang hari karena pemandangan akan dapat dinikmati apabila hari terang. Kami menurut dan memutuskan tinggal lebih lama di Kota Pekanbaru.
Kami menginap di sebuah keluarga unik, ayah teman kami orang Medan dari suku Batak, Ibu asli Riau, kakak ipar dan calon suaminya orang Jawa sedangkan teman saya walau kelahiran Riau, namun sedari sekolah hingga lulus ada di Jawa Tengah. Akulturasi budaya terjadi di sebuah keluarga kecil.
Kebetulan satu keluarga juga hobi backpacker, sang ayah bahkan sudah sampai ke Cina berangkat dari Riau menggunakan jalur darat dan laut. Jadilah kami sangat menikmati menginap disana.
Paginya kami naik travel menuju Bukittinggi, kebetulan ada teman yang menawarkan untuk mampir di kafe barunya di Payakumbuh, lagi-lagi rencana berubah, ada tambahan kota baru untuk dikunjungi : Payakumbuh.

Selama perjalanan kami menikmati jalanan pegunungan yang berkelok, sembari sesekali melepaskan pandangan ke sungai besar di tepi jalan.
Yang saya herankan disini adalah tidak adanya bus executive untuk jalur Pekanbaru -Padang, padahal kondisi jalan memungkinkan untuk dilewati oleh bus executive, begitu pula penumpang yang cenderung lumayan banyak. Saya tentunya akan lebih nyaman melakukan perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 6 jam menggunakan bus executive daripada mobil pribadi yang disewakan untuk mengangkut kami.
Sampai di Payakumbuh kami diantar teman ke satu lokasi wisata bernama Sangau Indah. Sangau berarti gua, gua yang pernah menjadi benteng pertahanan Jepang pada masa penjajahan tersebut kini digunakan sebagai salah satu andalan wisata kota Payakumbuh.
Selain untuk tempat wisata, gua ini digunakan juga untuk beternak walet.
Tidak habis sampai disitu, daerah sekitar Sangau Indah menawarkan pemandangan khas perbukitan yang indah.

Tertarik datang ke Payakumbuh? 🙂

20130223-064649 PM.jpg

20130223-064728 PM.jpg

20130223-064754 PM.jpg

20130223-064816 PM.jpg

20130223-064830 PM.jpg

20130223-064843 PM.jpg

20130223-064915 PM.jpg

20130223-064941 PM.jpg

20130223-064958 PM.jpg

20130223-065023 PM.jpg

20130223-065039 PM.jpg

20130223-065101 PM.jpg

20130223-065116 PM.jpg

20130223-065138 PM.jpg

20130223-065157 PM.jpg

20130223-065227 PM.jpg

20130223-065242 PM.jpg

20130223-065254 PM.jpg

20130223-065320 PM.jpg

20130223-065215 PM.jpg

Perjalanan 3 kota – Pekanbaru

Setelah perjalanan penuh dengan gangguan turbulence selama 1,5 jam, kami mendarat dan disambut dengan kabut dingin Pekanbaru. Kami dijemput oleh seorang teman, dan setelah mandi kami memulai mengitari kota.
Pada umumnya, Pekanbaru bukan tempat tujuan wisata utama, setidaknya itulah yang saya tangkap dari kalimat teman yang mengantar kami berkeliling. Teman saya dengan latar belakang pendidikan S2 Jurusan Pariwisata mengatakan bahwa dia sudah putus harapan dengan pariwisata di Pekanbaru. Kota Pekanbaru merupakan kota yang kaya dengan hasil minyak dan sumber daya alam lainnya, mungkin dari situ masyarakatnya menganggap pengembangan kota di sektor pariwisata tidaklah penting, toh kota ini sudah kaya.

Tempat pertama yang kami kunjungi merupakan tempat makan yang cukup ramai di Daerah Pekanbaru, berbagai menu khas daerah ditawarkan, lokasi yang luas juga mampu menampung hingga 50 orang atau lebih. Soal masakan jangan ditanya, saya sangat suka dengan masakan melayu.
Sambil sarapan teman kami menyayangkan bahwa masih terdapat sebagian masyarakat sekitar yang kurang menghargai skill, untuk urusan pendidikan atau pekerjaan, mereka masih mengutamakan “orang-orang terdekat / kenalan” ketimbang “orang-orang yang mempunyai keahlian namun tidak mempunyai hubungan kekerabatan”.
Mendengar hal itu, saya hanya dapat mengangguk tanda mengerti. Saya tidak tahu, apakah karena budaya “kerajaan” yang masih terbawa oleh masyarakat negeri (khususnya kota ini), sehingga sebuah jabatan dirasa hanya pantas diberikan kepada keluarga atau kerabat dari “yang punya kewenangan”.
Saya kemudian menyusuri pasar tradisional sambil terus berbicara mengenai perilaku dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan penduduk sekitar, satu yang saya tangkap dari pembicaraan panjang kami: “saat dihadapkan pada kekuatan yang lebih besar, seberapapun benarnya kita, kita akan nampak lemah dan tidak berdaya.

Terletak di sebelah pasar tradisional, terdapat kawasan pecinan yang sedang banyak dihiasi lampion-lampion merah dalam rangka tahun baru Cina.
Selesai makan siang, kami melanjutkan berkeliling ke Rumah Adat Melayu, dimana gedung tersebut sering digunakan oleh Kelompok Adat untuk kegiatan-kegiatan adat.
Pada panggung terdapat sebuah “kursi kehormatan” bagi Pemimpin Adat atau tamu kehormatan, di kanan dan kiri kursi kehormatan terdapat gambar tenun asli Pekanbaru.
Tempat tersebut juga dihiasi dengan tulisan Pasal Gurindam 12 pada dindingnya.
Hal menarik lain di Pekanbaru selain kulinernya adalah bangunan-bangunan megahnya. Mulai dari masjid-masjid besar, gedung perpustakaan hingga gedung anjungan yang dahulu pernah digunakan untuk acara FFI beberapa tahun lalu.
Sayangnya terdapat beberapa bangunan yang masih kurang dioptimalkan fungsinya, bahkan kurang dirawat sehingga nampak kotor, yang saya takutkan adalah apabila hal ini terus dibiarkan, gedung-gedung megah tersebut akan cepat rusak.
Hal positif lain, Pekanbaru merupakan kota dengan tata kota yang apik, jalanan dengan aspal berkualitas baik, pengemudi kendaraan yang tertib berlaku lintas di jalanan, dan tentu saja kondisi jalanan yang bersih sehingga nyaman untuk dilewati.
Setelah seharian berkeliling Pekanbaru, saya merasa Kota ini cukup menyenangkan, dengan sedikit pengembangan, dan perawatan saya tudak heran apabila suatu saat nanti, kota ini akan menjadi kota metropolitan.

20130222-101149 PM.jpg

20130222-101243 PM.jpg

20130222-101409 PM.jpg

20130222-101426 PM.jpg

20130222-101445 PM.jpg

20130222-101501 PM.jpg

20130222-101542 PM.jpg

20130222-101518 PM.jpg

20130222-101729 PM.jpg

20130222-101648 PM.jpg

20130222-101707 PM.jpg

20130222-101752 PM.jpg

20130222-101807 PM.jpg

20130222-101824 PM.jpg

20130222-101842 PM.jpg

20130222-101343 PM.jpg

Perjalanan 3 jomblo ke 3 Kota – Bandung

Bulan kedua di tahun 2013, gue kembali menjalankan aksi traveling bersama dua orang teman lain, ga jauh-jauh, kali ini gue akan ke Padang.

Namun sebelum ke Padang, gue mampir dulu di dua kota yaitu Bandung dan Pekanbaru.

Perjalanan kamis malam dari Jakarta menuju Bandung, mengapa harus ke Bandung? Simple : lagi-lagi masalah tiket promo yang gue dapat adalah rute Bandung – Pekanbaru.

Tijet promo yang hanya senilai Rp. 5000,- ditambah ongkos bagasi yang terpampang di Blog Air Asia sungguh sangat sayang untuk dilewatkan, akhirnya gue dan beberapa teman membeli tiket tersebut tanpa pikir panjang. Nah, karena Pekanbaru hanya memakan perjalanan sekitar 6 jam perjalanan dengan menggunakan jalur darat, kami memutuskan untuk tidak lama singgah di Pekanbaru.

Jadilah kami harus melakukan perjalanan tengah malam dari Jakarta ke Bandung, sampai Bandung kami menunggu pesawat di Bandara Husein Sastranegara selama beberapa jam.

Gue ga akan bahas banyak tentang Kota Bandung kali ini, hal menarik yang gue temui justru di Bandara Hussein Sastranegara.

Bandara kecil ini ternyata sudah melayani penerbangan Internasional.
Jalan menuju Bandara harus melewati komplek perumahan Angkatan Darat sehingga membuat gue serasa sedang menjalani perjalanan militer (ini imajinasi gue aja sih).
Luas lokasi yang tidak seberapa ternyata tidak membuat bandara ini kehilangan keunikannya. Penataan ruang dibuat dengan sangat memaksimalkan ruang kosong. Meskipun begitu, semua fasilitas yang dibutuhkan seperti toilet, alat self check in, meja imigrasi, loket-loket penjualan tiket dan toko-toko yang menjual makanan tetap ada walau tidak terlalu banyak.
Baiklah.. Sudah boarding, postingan akan berlanjut saat tiba di Pekanbaru nanti.

20130222-044818 AM.jpg

20130222-044834 AM.jpg

20130222-044848 AM.jpg

20130222-044900 AM.jpg

Berlindung dibalik keindahan Tidung

Tidung adalah satu pulau di jajaran Kepulauan Seribu. Keistimewaannya adalah : walaupun lokasinya di Pantai Utara (Jawa), namun pantai di kawasan Pulau Seribu ini berpasir putih.

Perjalanan ke Tidung dalam rangka perpisahan ama temen-temen training gue di kantor. Setelah 4 bulan bersama dan ketemu setiap hari akhirnya harus dipisahkan juga oleh penempatan.

Gue bersama 4 begundal sudah menyewa tour selama perjalanan Ke Tidung, lazimnya memang orang yang maen ke Tidung itu akan menyewa tour agent, yang akan mengurusi transportasi, makan, dan penginapan dan akomodasi lain selama di Tidung.

Biaya selama 2 hari 1 malam berkisar antara Rp. 250.000 – Rp. 350.000 / orang, tergantung fasilitas dan tour agentnya.

Perjalanan kami dari Muara Angke yang penuh dengan bau ikan asin dan jalanan yang becek berlumpur, dari Muara Angke akan naik kapal selama ±3,5-4 jam. Kapal berangkat pukul 6:00, tadinya gue pikir kami bakal dapat kapal ferry yang lumayan nyaman, ternyata salah. Gue ga ngerti jenis kapal apa yang gue naikin, yang jelas kapal kecil itu berjubel penuh penumpang baik yang ingin liburan maupun penduduk setempat yang biasanya berbelanja ke Jakarta.

Kalau melihat ini, yakilah bahwa gue bukan pesakitan yang siap dilempar ke laut.

Rata-rata penumpang akan naik di atas dek kapal, selain biar tidak berdesakan dengan ikan asin yang diletakkan di dalam lambung kapal, juga jaga-jaga apabila terjadi sesuatu hingga kapal tenggelam gampang lompatnya (ketok-ketok lantai). Pejalanan minimal 3,5 jam di atas laut memang ga senyaman apabila menggunakan jalur darat. Siap mabok laut, dan ga jarang pula saat ombak besar mesin kapal dimatikan (yang mana kalo belum terbiasa naik kapal seperti ini sangat menyeramkan).

Dari tempat parkir kapal / tempat turun pertama kali saja sudah terasa indahnya.

Waktu masih di tengah-tengah laut dan kami tidak melihat ada kapal lain / pulau / bahkan burung Camar, tiba-tiba langit mendung. Tentu saja hal yang gue takutkan saat itu adalah kena badai di tengah laut. Bayangkan kena badai di darat aja udah serem, ini di tengah laut ditambah kapal yang kecil dan pelampung tipis yang hanya berjumlah 5 biji. Nmaun untungnya hanya hujan dan sedikit angin saja yang datang, langsung gue lanjutkan tidur setelah hujan sedikit berhenti. Ga seberapa lama, gue tidur, tiba-tiba terdengar suara dari awak kapal “HOII!! KAPAL MIRING KE KANAN, SEMUANYA PINDA DUDUK KE SEBELAH KIRI!!” dengan jantung berasa mau copot akhirnya gue kebangun dan geser tempat duduk, dan memang benar kalau kapal miring ke kiri karena ombak besar dan kapal tidak seimbang beratnya. Mendekati Pulau Tidung cuaca berangsur cerah dan air juga tenang.

seorang pemuda gombal berkata : Sayang, apabila kamu langit maka aku lautnya… biru kita menyatu | menyatu apanya Bang?! langit ama laut kan jauh!! #kemudianPutus

Sesampainya di Dermaga Tidung, kami langsung disambut sama tour guide kami, diantarkan ke rumah yang kami sewa sambil membicarakan jadwal akan kemana saja nanti selama di Tidung.

Karena gue dan rombongan cuma menginap semalam, maka jadwal memang agak ketat, seketat celana Jins Vidi Aldiano. Begitu sampai di rumah mungil dengan fasilitas dua kamar, tv, ac, kamar mandi, dan bed nyaman di ruang tamu, kami langsung disambut oleh makanan yang disediakan si Empunya rumah, ikan (gue ga tau jenis ikannya, yang jelas enak karena ikan air laut) dengan sambal dan lalapan, pas buat mengisi perut kami yang sudah kelaparan sejak subuh. Tour guide mengatakan akan mengajak kami untuk snorkling pada pukul dua siang, sementara itu kami bebas beristirahat.

Karena sudah terkenal sebagai tempat wisata, penduduk Tidung ini cukup ramah dan tahu bahwa pengunung Pulau ini merupakan salah satu mata pencaharian mereka.

Pukul 2 siang, tour guide kami datang, kami diminta bersiap untuk segera ke kapal yang akan mengangkut kami ke tempat snorkling. Di rumah yang kami sewa juga sudah disediakan sepeda sebagai alat transportasi kemana-mana, pulau Tidung tidak terlalu besar, jadi sekalian olahraga gitu, pas mau jalan kami diributin salah seorang temen cowok (Sebut saja Koko) yang GA BISA NAIK SEPEDA DAN MINTA DIBONCENG. Kalo ada yang ga bisa naik motor gue masih maklum, namun kalau ga bisa naik sepeda kayaknya kebangetan, cowok pula, mana badannya gede trus siapa yang mau ngebonceng? Akhirnya tugas membonceng diputuskan dengan suit, yang kalah boncengin si Koko dengan badannya yang memel itu.

Kapal yang digunakan kapal nelayan kecil, cukup untuk 4-5 orang

Berbekal peralatan snorkling yang sudah disediakan oleh guide dari penginapan, kami dibawa dengan perahu motor kecil ke tengah laut, tempat dimana terumbu karang banyak berkumpul. Setelah dapat beberapa pengarahan dari tour guide kami pun segera masuk ke air buat lihat terumbu karang sekaligus memberi makan ikan. Hati-hati saat berenang di tempat yang banyak karang, kaki gue lecet-lecet karena (entah kenapa bisa) nabrak karang. Sayang sekali waktu itu ga ada yang bawa under water camera, adanya cuma under wear basah.

Kalo lihat ini gue malah berpikir kalo kami ini seperti korban bencana Titanic.

Setelah puas bermain-main dalam air dan hari juga sudah sore, kami pun segera kembali ke Pemukiman. Sore kami sempat mampir ke Jembatan cinta (katanya banyak yang jadian disini), ambil beberapa foto buat narsis. Di jembatan cinta tersebut juga digunakan sebagai ajang lompat indah oleh para amatir, biasanya orang-orang beradu keberanian dengan melompat dari atas jembatan itu. Gue ga tertarik, selain karena ga yakin bisa mengatasi panik saat melompat, gue ga lihat ada mas-mas penjaga pantai ganteng seperti dalam film baywatch (iye gue produk jadul).

Tolong fokusnya ke jembatan dan lautnya saja… jangan ke perut modelnya.

Sendirian aja neng?

Sorenya kami kembali ke penginapan naik sepeda, karena sudah maghrib. Pas perjalanan pulang gue sempet nyasar, temen-temen gue menghilang dan karena jarak dari pantai ke penginepan cukup deket gue santai aja menuju penginepan, sialnya setelah beberapa kali muter-muter ga jelas, gue baru nyadar kalau gue 100% nyasar, dan entah kenapa jalan apapun yang gue pilih, mentoknya ke daerah kuburan juga. Karena udah merinding dan putus asa, gue nanya-nanya ke penduduk yang jual rujak, waktu ditanya penginepan gue namanya apa dan di jalan apa gue panik. “njrit! gue ga tau rumah yang gue sewa di jalan apa dan siapa nama pemiliknya”

Akhirnya setelah mengingat beberapa tempat yang gue lewati, gue diantar sama si mbak penjual rujak buat cari rumah. Huhuhuu mbaknya baik banget, semoga bahagia selalu ya mbak.. Begitu sampai di belokan gang penginapan gue, gue ketemu temen-temen gue yang juga panik cariin sejak sejam yang lalu.

Malamnya kami makan malam ikan bakar di tepi pantai, sambil dihibur karaoke dangdut oleh si pemilik tempat makan, puas makan ikan kami kembali ke peninapan dan tidur nyenyak, karena paginya kami akan memburu sunrise di Tidung.

Karena iseng bisa muncul kapan saja, termasuk di Tidung

Paginya kami bersepeda kembali ke dermaga cinta dan berjalan menuju pulau di seberang Tidung, lokasinya asik buat berfoto ria, selebihnya menyenangkan buat pacaran (kalau bawa pacar). Puas foto-foto hingga siang kami kembali ke penginapan dan beberes pulang.

Saat perjalanan pulang, ternyata ombak lebih besar, kalau pas berangkat gue bisa tidur di perjalanan, pas baliknya gue sibuk berdoa. Berdoa biar kapal yang gue tumpangi ga terbalik diserang ombak besar, terlebih karena temen gue ada yang mimpi tenggelam malam harinya. Ternyaya akhir-akhir gue baru tau, kalau ombak pas balik dari Tidung ke Jakarta memang lebih besar dari sat berangkatnya. Untung gue slamet, bukan Eva *loh*.

Begitulah perjalanan Tidung, foto-foto selama disana gue posting di bawah yee..

Berjemur ala orang Indonesia : masih pakai baju lengkap

 

 

 

Menyusuri Green Canyon tanpa perlu terbang ke Amerika

salah satu dinding Cukang Taneuh atau yang biasa disebut Green canyon, kalau tidak banjir bisa lompat dari atas air terjun ini.

Sekitar dua atau tiga tahun lalu, gue bersama keluarga main ke rumah Saudara di Tasikmalaya.

Karena lokasi rumah saudara gue tidak banyak objek wisata, akhirnya Om gue mengajak ke Pantai Pangandaran, gue senang tentunya, karena setelah 20 tahun tinggal di Gunung, dan sudah bosan dengan hawa dingin, tiap kali mendengar kata pantai hati ini langsung bergemuruh (mengikuti suara ombak), selain penuh dengan air (ya iyalah pantai masak mau penuh batu) gue juga suka dengan pasir putih dan panas matahari.

Begitu sampai di Pantai Pangandaran gue sedikit kecewa, ternyata pantainya ga seperti yang gue harapkan. Pantai Pangandaran yang gue bayangkan hampir-hampir mirip dengan Pantai di daerah Uluwatu Bali ternyata sangat ramai! saking ramainya sampai gue ga bisa bedain yang mana pasir pantai dan yang mana manusia, hampir seluruh permukaan pantai tertutup warna-warni manusia yang entah berenang, berjemur, atau sekedar makan jagung sambil berendam (asli gue juga ga ngerti apa yang ada dalam pikiran orang ini, mungin saja dia merasa dirinya spongebob).

Akhirnya setelah sebentar berkeliling dan melihat-lihat situasi, om gue mengajak ke Green Canyon. Mendengar kata Green Canyon wajah gue sumringah hampir menangis terharu, ga ada angin ga ada hujan om gue mau bayarin kami sekeluarga ke Amerika sana. Namn 5 menit kemudian gue disadarkan, bahwa Green Canyon yang dimaksud om gue bukanlah Jajaran tebing berwarna hijau di Amerika sana, namun ternyata sebuah aliran sungai yang menembus gua (kira-kira seperti itu penggambarannya).

Dan selama perjalanan dari Pantai Pangandaran ke Green Canyon gue dapat banyak cerita dari Om, salah satunya Green Canyon itu sering disebut penduduk sekitar dengan nama Cukang Taneuh yang artinya jembatan tanah, karena konon terdapat jembatan yang terbuat dari tanah yang menghubungkan lembah dan jurang di daerah itu.

Sesampainga di Green Canyon / CT kami disambut aliran air sungai yang cukup besar, sayang sekali karena kedatangan kami pada saat musim penghujan, air sungaiyang biasanya berwarna hijau berubah menjadi coklat karena banjir, sehingga air sungai bercampur lumpur. Namun hal tersebut tidak mengurangi kenenangan di sana.

Dari sinilah perjalanan menelusuri sungai dan gua dimulai (abaikan yang narsis di depan)

Tiket masuk ke Green Canyon / CT dikenakan sebesar Rp. 12.500,- / orang, apabila ingin segera menyusuri sungai dan menikmati dinding stalaktit raksasa dapat langsung menyewa perahu dengan harga Rp. 57.000,- / perahu. Satu perahu dapat diisi hingga 6 orang, jadi apabila perginya ramai-ramai tentunya akan semakin murah (kecuali kalau rombongan pada ga mau bayar dan elo yang terpaksa mentraktir).

Walau tidak mendapat kesempatan untuk berenang (ada kesempatan pun belum tentu gue pakai karena gue takut buaya / biawak yang katanya masih sering bermunculan di sungai..hiiii) kami tetap menikmati perjalananan menyusuri sungai, apabila sudah dekat dengan lokasi, akan terlihat dinding-dinding stalaktit raksasa yang beberapa diantaranya dialiri air sehingga seperti banyak air terjun kecil di kanan kiri.

ini jasa tukang pijat spesial, setelah dipijat tamu akan didorong ke sungai untuk kemudian dijadikan santapan buaya
Selama perjalanan akan banyak berpapasan dengan rombongan lain, kalo lagi iseng bisa saling mencipratkan air ke rombongan lain.

Kata yang mengemudikan perahu, kalau sedang tidak banjir air di sungai berwarna biru kehijauan, saat itu yang terlintas di kepala gue adalah mungkin saja itu pipisnya Hulk, tapi lupakan. Dalam perahu ada dua orang pengunjung di luar keluarga gue, karena saat itu kami hanya berempat sedangkan perahu muat untuk 6 orang, yang naik adalah dua orang pemuda tanggung, dengan wajah lumayan manis namun pada saat diajak ngobrol rada ga nyambung. Seperti contoh : dia : “kerja dimana neng?” | gue : “masih kuliah kak” (padahal sudah lulus, cuma biar keliatan muda aja) | Dia: oh, kuliah dimana? | gue: “di Undip” | dia: “Undip itu Padjajaran?” | gue : *mengernyit* “engga, di Semarang” | Dia : “Semarang itu daerah Bandung juga?” | gue: *ceburin si cowok duduls biar  berhenti nanya-nanya*.

Kalau begini berasa maen film Anaconda ya?
Bagi yang belum mandi boleh sekalian mandi besar disini.

Begitu sampai di ujung perjalanan, stalaktit makin rapat, dan diujung terdapat gua besar yang dihuni oleh banyak kelelawar. Begitu sampai di ujung, gue merasa seperti di dalam gua yang langit-langitnya sudah runtuh, air yang menetes dari stalaktit di kanan kiri makin memperkuat kesan menarik di CT ini.

Bagi yang ingin olahraga ekstrim, dapat melompat dari atas dinding-dinding ini.
Mulai masuk daerah ini, dinding makin merapat, dan luas sungai makin sempit.
ada yang berminat untuk rock climbing disini?

Demikian, sedikit cerita jalan-jalan di Cukang Taneuh alias Green Canyon milik Indonesia ini. Satu lagi, apabila musim sedang baik dan tidak banjir boleh mempersiapkan alat selam / snorkeling, karena ikan-ikan warna-warni banyak bermunculan apabila arus sedang tenang.